SUKABUMIUPDATE.com - Siapa yang belum pernah datang ke pasar malam? Wahana hiburan murah meriah bagi kelas menengah ke bawah ini biasanya berkeliling beberapa minggu atau bulan sekali ke tempat yang baru.
Pasar malam menyediakan bermacam wahana permainan, seperti; bianglala, komidi putar, lompat trampolin, tong setan, kereta api mini, dan masih banyak lainnya.
Dengan rata-rata harga sekali masuk hanya sekitar Rp 10.000, pengunjung dapat menikmati hiburan tanpa khawatir kantong jebol. Tidak hanya itu, di sana juga terdapat bermacam penjual kuliner, jadi jangan khawatir bakal kelaparan atau kehausan.
Baca Juga: Sejarah, Fase-Fase Perkembangan yang Terjadi di Jawa Barat
Dikutip dari p2k.stekom.ac.id, ternyata pasar malam sudah ada sejak zaman Dinasti Sui di Tiongkok kuno. Pasar malam pertama yang tercatat diselenggarakan di Chang’an, salah satu kota besar pada zaman itu. Kegiatan ini meluas ke beberapa kota besar lain seperti Luoyang, Yangzhou, hingga Kaifeng.
Namun, di sini pasar malam masih sebatas pada adanya transaksi penjual dan pembeli. Alias tidak ada wahana hiburan dan hal-hal yang melekat pada kebiasaan pasar malam di Indonesia.
Lalu bagaimana sejarah pasar malam di Indonesia? Masih dirangkum dari sumber yang sama, di Indonesia awalnya pasar tradisional tidak permanen alias diadakan pada hari yang berbeda dan lokasi yang digilir di antara desa-desa yang berpartisipasi.
Kegiatan ekonomi tradisional ini di beberapa daerah di Jawa dikenal dengan sebutan "Hari Pasaran" atau agar mudah mendeskripsikannya sebutlah pasar kaget. Hingga semakin berkembang dan berujung jadi pasar permanen seperti kebanyakan pasar saat ini.
Baca Juga: Mengenal Pakaian Adat Sunda; Sejarah dan Bentuknya
Nah, pasar malam sendiri dipercayai memiliki keterkaitan dengan budaya pasar kaget tadi. Di beberapa daerah, pasar malam biasanya diadakan pada acara-acara khusus seperti festival.
Salah satu contohnya, festival Sekaten di Jawa yang dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut, sejak tanggal 6 hingga 12 Rabiul Awal kalender Islam atau tanggal 6 hingga 12 Mulud dalam Kalender Jawa Sultan Agungan.
Namun seiring berkembangnya zaman, pasar malam pun berkembang hingga seperti sekarang, tidak terbatas hanya pada kegiatan festival. Siapapun yang memiliki modal dapat membuat pasar malam. Hingga hiburan rakyat ini bisa muncul kapan saja dan di mana saja tergantung si empunya.
Melirik kembali ke belakang, setelah ditemukannya listrik dan bola lampu, pasar malam lebih sering diadakan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Yang paling besar adalah Pasar Gambir, sebuah pasar malam yang diadakan pertama kali pada 1906, dan kemudian digelar secara berkala tiap tahun sejak 1921 sampai pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942.
Baca Juga: Kini Tersisa 9 Unit, Sejarah Nayor di Cibadak Sukabumi Sudah ada Sejak 1941
Pasar Gambir digelar di Koningsplein–kini lapangan Monas atau Medan Merdeka–, Batavia, Hindia Belanda untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina dari Belanda. Acara ini dipercaya sebagai asal muasal dari Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) dan Tong Tong Fair di Den Haag yang sebenarnya merupakan pasar malam yang digelar selama beberapa pekan.
Berbicara perihal Tong-Tong Fair, awalnya festival ini bernama Pasar Malam Besar yang pertama kali diadakan pada 1959. Kegiatan ini diotaki oleh Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu, seorang intelektual Indo dan sastrawan terkenal. Laki-laki berdarah Belanda-Inggris-Jawa ini juga memiliki nama asli Jan Boon.
Disadur dari historia.id, pada 1950-an, terjadi migrasi besar-besaran komunitas Indo ke Belanda. Hal ini disebabkan oleh panasnya suasana di Indonesia setelah Agresi militer 1 dan 2 oleh Belanda, dan muaknya pribumi pada kaum bangsawan atau darah campuran Indo-Belanda.
Namun hijrahnya komunitas Indo ke Belanda ini tidak diterima begitu saja. Kerajaan Belanda mengeluarkan aturan mengenai asimilasi dan menghimbau mereka untuk melupakan sejarah tempat mereka tinggal sebelumnya.
Baca Juga: Mitos Curug Sawer Situ Gunung, Salah Satu Wisata Alam Populer di Sukabumi
Sebagai intelektual, Robinson tidak menerima kebijakan dari Kerajaan Belanda tersebut. Lalu, ia bersama rekan-rekannya sesama keturunan campuran Indonesia-Belanda membentuk Indies Cultural Circle.
Salah satu bentuk pencapaian dari Indies Cultural Circle adalah terselenggarakannya Pasar Malam Besar atau sekarang lebih dikenal dengan Tong-Tong Fair yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Den Haag. Awal mula ide ini didasari pada kangennya Robinson dengan Pasar Malam Gambir.
Walaupun pada saat pertama kali diselenggarakan, kegiatannya hanya berupa pertemuan, acara musik, makan, dan para tamu diperbolehkan untuk menyumbang uang untuk melestarikan budaya hibrida mereka selama tiga hari.
Salah satunya melestarikan bahasa Pecok. Bahasa dari Hindia Belanda yang digunakan para Indisch (Indo Eropa) pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Namun sayangnya, diperkirakan bahasa ini punah pada akhir abad ke-21.
Sebelum melebar lebih jauh, mungkin begitu kurang lebih momen perihal bagaimana pasar malam bisa tercipta, terutama di Indonesia. Sebetulnya masih banyak literatur yang dapat dibaca untuk memperdalam pengetahuan mengenai sejarah pasar malam ini. Silahkan cari sendiri. Terima kasih.