SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Sukabumi, Jalil Abdillah, mengutuk keras tindakan kriminalisasi yang dilakukan terhadap tiga petani penggarap di Cijambe, Bantargadung, Kabupaten Sukabumi.
Kriminalisasi ke petani penggarap eks HGU perkebunan Bantargadung bermula dari penutupan akses oleh perusahaan yang mengelola tanah tersebut. Para petani, meskipun telah membayar biaya sewa rutin, dipaksa membayar biaya tambahan setiap kali ingin mengakses tanah untuk bertani, meskipun mereka telah bertahun-tahun bercocok tanam di lahan tersebut.
Jalil menyampaikan keprihatinannya dengan adanya warga Kabupaten Sukabumi yang dikriminalisasi oleh perusahaan. Ia pun geram dengan tindakan pihak eks HGU perkebunan Bantargadung.
Politisi Demokrat itu menyebut pihaknya akan melakukan upaya agar para petani segera dibebaskan. "Kami meminta kepada perusahaan untuk membebaskan para petani. Mereka hanya warga biasa dan merupakan tulang punggung keluarga," kata Jalil kepada sukabumiupdate.com, Selasa (27/11/2024).
Apalagi, kata Jalil, PT Bantargadung saat ini tidak ada aktivitas pengelolaan lahan karena pengajuan izinnya masih proses. Dan sebenarnya tidak etis bagi perusahaan menyewakan lahan kepada masyarakat, karena perusahaan memiliki kewenangan memberikan lahan sebesar 20 persen untuk dibagikan kepada masyarakat.
Baca Juga: Gema Petani Jabar Kecam Kriminalisasi ke Penggarap di Bantargadung Sukabumi
"Tidak etis perusahaan menyewakan lahan, justru seharusnya perusahaan
perusahaan memiliki kewajiban memberikan hak bagi masyarakat berupa penyisihan lahan sebesar 20 persen dari lahan HGU," imbuhnya.
Lebih jauh, Jalil menyebut dirinya siap menjaminkan diri untuk membebaskan petani yang saat ini ditahan di Polres Sukabumi. "Kita akan bahas soal kriminalisasi ini, bila perlu kita berikan jaminan agar mereka dibebaskan," tegasnya.
Sebelumnya, Gerakan Mahasiswa Petani Jawa Barat (Gema Petani Jabar) menyampaikan protes keras atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan terhadap tiga petani penggarap di Cijambe, Bantargadung, Kabupaten Sukabumi.
Konflik agraria yang terjadi antara para petani dengan eks HGU perkebunan Bantargadung bermula dari penutupan akses oleh perusahaan yang mengelola tanah tersebut. Para petani, meskipun telah membayar biaya sewa rutin, dipaksa membayar biaya tambahan setiap kali ingin mengakses tanah untuk bertani, meskipun mereka telah bertahun-tahun bercocok tanam di lahan tersebut.
Penutupan akses yang dilakukan perusahaan menggunakan portal menjadi beban berat bagi para petani, yang sebagian besar bertani singkong, tanaman yang harganya sering kali tidak stabil. Beban biaya tambahan untuk membuka portal setiap kali akan bertani menambah kesulitan perekonomian mereka.
Ketidakpuasan ini memuncak pada aksi perusakan portal oleh para petani, yang kemudian berujung pada kriminalisasi terhadap tiga orang petani.
Menurut laporan, pengaduan masyarakat mengenai penutupan akses jalan tidak mendapatkan respon dari pemerintah, yang semakin memperburuk situasi.
Sebagai respons, Gerakan Mahasiswa Petani Jawa Barat mendesak pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk mencabut rekomendasi pembaharuan HGU PT Bantargadung yang tertuang dalam surat No: 500.17.3.3/3456/DPTR/2024, karena dinilai tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam keputusan Menteri ATR/BPN No: 2/PBT/KEM-ATR/BPN/IX/2023.
Dalam keputusan tersebut, disebutkan bahwa status tanah eks HGU PT Bantargadung kembali menjadi tanah yang dikuasai negara, dan seharusnya tidak ada konflik terkait status lahan tersebut.
Moch Davit, Koordinator Gema Petani Jawa Barat, menegaskan bahwa pihaknya mengecam keras kriminalisasi yang dialami oleh para petani tersebut. Mereka juga mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik ini secara adil dan transparan.
Gema Petani Jawa Barat berencana untuk melakukan konsolidasi dengan berbagai organisasi masyarakat lainnya dan akan turun ke jalan untuk memperjuangkan hak para petani yang dikriminalisasi. Mereka bertekad untuk menyuarakan suara rakyat dan menuntut keadilan bagi para petani yang terzalimi.