Oleh : Bayu Permana (Anggota DPRD Kab Sukabumi)
Dalam dua hari terakhir, Kabupaten Sukabumi dilanda intensitas hujan yang sangat tinggi, mengakibatkan banjir dan longsor di berbagai wilayah, terutama di bagian selatan. Peristiwa ini seolah menjadi kejadian rutin tahunan yang terus meningkat secara kuantitas. Pertanyaannya, siapa yang harus disalahkan, atau bagaimana kita harus menyikapi situasi ini?
Dalam pandangan masyarakat awam, banjir dan longsor sering dianggap sebagai akibat langsung dari curah hujan tinggi dan meluapnya sungai. Namun, jika kita melakukan refleksi lebih mendalam, nenek moyang kita dulu hidup berdampingan dengan sungai dan gunung yang sama, tetapi tidak mengalami tekanan lingkungan seperti yang kita rasakan saat ini. Mengapa bencana ini menjadi semakin sering dan intens di masa kini? Pertanyaan ini memerlukan perhatian serius dari semua pihak.
Akar permasalahan sebenarnya adalah ketidakmampuan kita sebagai manusia untuk hidup selaras dengan alam. Perubahan pola penggunaan lahan, penebangan hutan, dan pengabaian terhadap tata kelola lingkungan telah menyebabkan ketidakseimbangan alam yang berakibat pada meningkatnya risiko bencana. Seharusnya, kita memiliki pengetahuan tentang cara kerja alam dan bagaimana kita bisa menyesuaikan diri agar aktivitas kita tidak memicu bencana. Hal ini menjadi momentum bagi pemerintah daerah, yang baru saja selesai mengadakan Pilkada, untuk benar-benar mengevaluasi dan memperbaiki rencana tata ruang dan wilayah serta memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, demi mencegah risiko bencana yang berulang.
Pemerintah daerah harus mulai serius menyiapkan kebijakan dan program terkait tata kelola lingkungan hidup, termasuk perencanaan tata ruang dan wilayah yang berkelanjutan. Kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terwujud tanpa lingkungan yang lestari. Kita harus memastikan setiap langkah pembangunan memperhatikan keseimbangan ekologi agar masyarakat dapat hidup dengan aman dan sejahtera.
Salah satu tujuan utama pemerintah daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Lingkungan yang lestari adalah syarat utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Pemerintah harus serius dalam merancang kebijakan dan program terkait tata kelola lingkungan, termasuk perencanaan tata ruang yang memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Peristiwa bencana yang terjadi berkali-kali menjadi peringatan bahwa penataan ruang yang tidak memperhatikan aspek lingkungan hanya akan membawa risiko bagi keselamatan warga.
Jika pemerintah Kabupaten Sukabumi tidak segera mengambil langkah konkret untuk menangani permasalahan ini, risiko bencana di masa depan akan semakin meningkat dan semakin sulit dikendalikan. Kondisi lingkungan yang semakin kritis dan rusak akan menambah kompleksitas masalah yang kita hadapi. Kebutuhan untuk meninjau kembali tata kelola lingkungan dan tata ruang wilayah menjadi sangat mendesak agar peristiwa seperti ini tidak terus berulang.
Banjir dan longsor yang sering terjadi seharusnya menyadarkan kita bahwa tanah Parahyangan yang dulu dikenal sebagai gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja kini menghadapi ironi besar. Ini juga menjadi ajakan bagi para akademisi dan ilmuwan untuk mengevaluasi metodologi dan pendekatan yang digunakan selama ini. Banyak upaya yang dilakukan ternyata tidak memperbaiki keadaan, bahkan justru memperburuk situasi. Saatnya kita kembali kepada pengetahuan tradisional yang diwariskan oleh leluhur kita dalam mengelola lingkungan, sehingga hubungan antara manusia dan alam tetap harmonis.
Penanganan krisis lingkungan membutuhkan keterlibatan semua pihak. Para sesepuh dan tokoh masyarakat perlu merevitalisasi nilai-nilai budaya dalam pengelolaan lingkungan. Pemerintah daerah juga harus menyusun kebijakan yang sesuai dengan tata ruang wilayah, dan akademisi perlu mengkaji ulang filosofi, metodologi, serta teknis pengelolaan lingkungan. Jika ketiga elemen ini tidak bekerja dengan serius, maka kita hanya akan menjadi korban dari sindiran dalam naskah lama Siksa Kandang Karesian yaitu "Ratu ilang pangaruh, Pandita ilang komara, Wong tua ilang wiwaha" yang menyebutkan bahwa "Pemerintah kehilangan pengaruh, Akademisi atau ilmuan kehilangan kemuliaan, dan para sesepuh kehilangan kehormatan."
Selain itu, aspek pengetahuan tradisional harus ditinjau ulang dan dipertimbangkan sebagai alternatif untuk mengendalikan kerusakan yang semakin meluas. Penggunaan istilah "bencana alam" juga perlu dipikirkan kembali, karena istilah tersebut seolah menempatkan kita sebagai korban dan alam sebagai pelaku. Sebenarnya, fenomena alam ini adalah bagian dari siklus natural, dan dampak buruknya adalah hasil dari kegagalan kita untuk hidup berdampingan dengan alam.
Hal diatas menekankan pentingnya mitigasi bencana sebagai salah satu langkah preventif utama. Selain tanggap darurat dan evakuasi, pemerintah harus memprioritaskan mitigasi bencana. Masyarakat harus dipersiapkan dan diberdayakan agar dapat hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, bahkan dalam kondisi cuaca ekstrem sekalipun. Mitigasi bencana harus menjadi prioritas agar masyarakat terhindar dari risiko kerusakan yang dapat terjadi kapan saja.
Mitigasi bencana bertujuan untuk memastikan masyarakat dapat hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, bahkan dalam kondisi cuaca ekstrem. Masyarakat harus dilibatkan dan diberdayakan agar mereka dapat mengurangi risiko dari bencana dan hidup dalam lingkungan yang aman. Langkah mitigasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.
Semoga pemikiran ini menjadi sumbangsih bagi masa depan Kabupaten Sukabumi yang lebih lestari dan sejahtera bagi seluruh masyarakatnya.