SUKABUMIUPDATE.com - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, membuat surat terbuka untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. “Saya menulis surat terbuka ini sebagai seorang ibu yang merupakan Warga Negara Indonesia,” kata Retno dalam surat terbukanya yang diterima Tempo, Sabtu, 1 Agustus 2020.
Dalam suratnya, Retno mempertanyakan pernyataan Nadiem bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah atau dari keluarga miskin.
Menurut Retno, pendirian sekolah negeri adalah wujud negara melakukan pemenuhan hak atas pendidikan yang menjadi hak dasar, sehingga semua anak Indonesia berhak menikmati pendidikan di sekolah-sekolah negeri, tanpa memandang status ekonomi.
“Pernyataan bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah adalah pernyataan yang tidak tepat,” ujar Retno yang pernah menjadi guru selama 24 tahun.
Nadiem, kata Retno, terkesan menganggap sekolah negeri tidak sejajar dengan sekolah swasta papan atas berbayar mahal, seperti CIKAL, Al Izhar Al Azhar, Penabur, dan lainnya.
Kritikan berikutnya, Retno mempertanyakan alasan Nadiem menurunkan jalur zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 dari 80 persen menjadi 50 persen.
Dasar kebijakan PPDB sistem zonasi adalah mencegah pendidikan menjadi pasar bebas. Sehingga, seluruh anak Indonesia apapun latar belakang ekonomi keluarganya, pintar atau tidak, berkebutuhan khusus atau tidak berhak belajar di sekolah negeri, asalkan rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju.
Pada pelaksanaan PPDB zonasi 2019, Mendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendy, menetapkan jalur zonasi 80 persen. Namun di era Nadiem turun drastis menjadi 50 persen. Menurut Retno, kebijakan itu bertentangan dengan keadilan sosial yang pernah disinggung Nadiem.
Kritikan terakhir, Retno mempertanyakan Nadiem yang tak berdaya mengatasi persoalan pembelajaran jarak jauh (PJJ). “Tidak terlihat langkah-langkah konkrit Kemdikbud mengatasi berbagai kendala PJJ,” kata dia.
Selama berbulan-bulan, kata Retno, tidak ada terobosan apapun dalam PJJ di fase kedua. Data survey PJJ fase 1 yang dilakukan KPAI pada April 2020 dan diikuti 1700 siswa, menunjukkan 76,7 persen responden siswa tidak senang belajar dari rumah.
Retno merinci, 37,1 persen siswa memgeluhkan waktu pelajaran yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stres, 42 persen siswa kesulitan belajar daring karena orang tua tidak mampu membeli kuota internet, dan 15,6 persen siswa kesulitan daring karena tidak memiliki ponsel, komputer, maupun laptop.
“Berdasarkan survey KPAI, PJJ menunjukan kesenjangan yang lebar dalam akses digital di kalangan peserta didik,” ujar Retno.
Bagi anak dari keluarga miskin kondisi PJJ secara daring yang tidak mampu mereka akses membuat anak-anak menjadi kehilangan semangat untuk melanjutkan sekolah.
Dalam surat terbukanya, Retno mendorong Nadiem membatalkan program organisasi penggerak (POP) dan mengalihkan anggarannya untuk mengatasi kendala PJJ.
Anggaran sebesar Rp 595 miliar itu bisa digunakan untuk penggratisan internet, bantuan gadget bagi anak-anak miskin dan guru honorer. Nadiem juga diminta menyelesaikan kurikulum pendidikan dalam situasi darurat “kurikulum adaptif”, berkoordinasi dengan Kementerian Desa terkait penggunaan dana desa untuk membantu anak-anak melakukan PJJ di balai-baai desa dengan fasilitas wifi dan komputer milik desa.
“Saya menunggu gebrakan Anda bagi kepentingan terbaik untuk anak-anak Indonesia. Sukses dan sehat selalu,” ucap Komisioner KPAI ini.
sumber: tempo.co