SUKABUMIUPDATE.com - Tak habis dikupas soal sepak terjang sosok inspiratif Neneh Hasanah, seorang nenek berusia 84 tahun yang hingga detik ini masih setia mengabdikan diri menjadi seorang pengajar di Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Assahriyah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA) Misbahul Aulad, Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi.
66 tahun sudah dilalui Mak Neneh mengajar di lembaga pendidikan yang ia kelola sendiri itu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dedikasinya yang luar biasa dikupas tuntas dalam acara live talkshow Tamu Mang Koko di Kantor Redaksi Sukabumiupdate.com, Sabtu (1/2/2020). Bagaimana kisahnya, simak wawancara berikut.
Sampai kapan emak mau tetap mengajar?
Dugika papisah nyawa sareng badan (sampai nyawa berpisah dengan badan). Setiap hari pulang pergi dari rumah ke sekolah.
Bisa diceritakan kisah singkat hidup emak?
Mula-mula setelah lahir tujuh hari, saya dikasihkan orang tua saya ke uwa, karena ibu dan ayah cerai. Sama uwa sampai usia 6 tahun. Sesudah tamat SD, bapak angkat meninggal pas mau samenan. Ibu angkat sendirian. Ibu asli sendirian. Keduanya punya lagi suami masing-masing.
Sesudah itu saya dirawat sama guru agama. Tapi pulang mah ke rumah ibu angkat. Lulus SD sama guru agama didaftarkan ke Tsanawiyah. Tamat Tsanawiyah, waktu mau dapat ijazah bapak kepala sama orang tua nanya ke emak, siapa bapak dan ibu yang asli. Saya jawab enggak tahu.
Sesudah itu saya mah mau belajar lanjut. Kata orang tua angkat teh perempuan mah enggak usah, katanya hina. Tapi saya mau ikut ujian ke SGB di Kandang Uncal. Ujiannya berhasil, terus ada teman ajakin ikut ke SGB. Saya mah tetap berangkat yang penting ada doa.
Saya sempat ditanya, mau belajar lanjut tapi tidak punya bapak. Saya sama teman saya minta bantuan ke Pak Bupati karena harus punya ongkos. Teman saya yang laki-laki juga ada yang ikut. Karena saya perempuan, saya disuruh belajar di rumah aja, buku-buku mah ada. Terus biar bisa bantu-bantu di rumah Pak Bupati.
Seminggu sekali ke Bupati. Tidak masuk SGB, jadinya belajar di rumah. Dua tahun dapat ijazah Aliyah. Saya belajar sambil urus anak kecil belajar Alquran. Terus ngisi pengajian ibu-ibu.
Dua tahun lebih setelah itu, kata bapak angkat mau dijodohkan. Bapak angkat kasih kabar mau dijodohkan hari Jumat, sementara nikahnya hari Ahad. Setelah itu langsung menikah dengan Bapak Oim. Sesudah menikah satu malam nginep di Ibu di Cijengkol. Besoknya ke Ciseupan. Menikah itu di usia 18 tahun.
Bagaimana ceritanya emak bisa sampai memilih untuk menjadi pengajar?
Setelah menikah itu sudah mulai mengajar anak-anak dan isi pengajian ibu-ibu. Mulainya itu di Ciseupan. Dari situ aja mulai mengajar terus-terusan. Ke anak-anak, saya mengajar tauhid, fiqih, bahasa arab, akhlak dan lainnya.
Jadi pengajar itu cita-cita emak?
Awalnya disuruh. Tapi kesini kesini saya mah ingin bela ke anak-anak soal pendidikan islam, supaya tahu aturan agama.
Masih ingat berapa siswa emak?
Jumlanya sudah 2.000 lebih. Paling banyak jadi guru, tentara, penilik, terus yang di Surabaya enggak tahu jabatannya. Kemarin ada yang ketemu, silaturahmi. Banyak juga yang sudah meninggal. Adak didik pertama sudah pada enggak ada. Sekarang cucu-cucunya.
Sering kesal waktu mengajar? Bagaimana mengatasinya?
Kesal waktu mengajar tidak didengar, main-main aja. Atau itu kesana kemari. Kalau sudah begitu dibiarkan saja, ditinggal. Saya keluar dulu. Sudah tertib masuk lagi.
Masih ada cita-cita yang ingin dicapai?
Saya mau sekolah beres. Titip. Biarpun butut, itu kalau ada rapat-rapat di sana. Idul Adha, Idul Fitri di sana. Tarawih di sana. Sekolah dibangun tahun 1936, peninggalan Pak Haji Ahmad, bapaknya Pak Oim suami saya. Direhab tahun 2017.
Saya mah titip aja sekolah. Saya mengajar karena Allah, tidak yang lain. Saya tidak akan berhenti mengajar. Anak didik mau bayar atau tidak, tidak apa-apa, yang penting mau belajar.