SUKABUMIUPDATE.com - Buat apa menahan lapar dengan puasa? Sebuah tema menarik di momentum bulan suci Ramadan ini menjadi pembahasan dalam wawancara sukabumiupdate.com bersama salah satu pengurus ICMI Kabupaten Sukabumi, yakni Dr Mulyawan Safwandy Nugraha. Mulyawan juga dikenal sebagai dosen di salah satu sekolah tinggi islam di Sukabumi, akademisi, juga Direktur Research dan Literacy Institute Sukabumi.
Mulyawan membedah puasa dari berbagai perspektif, mulai dari aspek kesehatan jasmani, aspek psikologis dan tentu dari sudut pandang agama. Bagaimana pemaparannya? Simak wawancara sukabumiupdate.com bersama Mulyawan SN berikut ini.
Rasanya selalu ada nuansa yang berbeda ketika memasuki bulan puasa, kenapa ya?
Itu fitrah manusia, ketika bertemu kewajibannya terhadap Tuhan, pasti ada sesuatu yang tidak sama. Kita akan melakukan ibadah. Harusnya orang yang akan melakukan ibadah itu dilakukan dengan suka cita, bukan sebaliknya. Puasa itu ibadah. Karena ibadah, panggilannya harus dari iman.
Ngapain puasa? Kalau otak normal manusia pasti berpikir, tidak mungkin kalau tidak ada sesuatu. Dorongan secara akal, mana mungkin ada orang yang mau menahan lapar dan haus. Tetapi ini orang begitu antusias, karena ini bagian dari naluri manusia melakukan ibadah.
Apa sih sebetulnya dampak puasa secara psikologis?
Nah ini yang menarik. Kalau dilihat dari sisi psikologis, ini yang akan menjadi pembiasaan. Manusia itu tidak bisa melakukan sesuatu kalau tidak biasa. Proses ibadah itu akan menjadi kebutuhan, ketika dimulai dengan kebiasaan. Secara psikologis kenapa orang menahan lapar dan haus ini merasa bahagia? Karena itu tadi, ada dorongan dari dalam dirinya sendiri dan menjadi pembiasaan.
Kemudian secara psikologis juga, orang ketika bertemu bulan puasa ini ada rasa takjub. Semua mendapat keuntungan di bulan Ramadan ini. Termasuk dari sisi ekonomi. Yang tidak puasa dapat keuntungan dari yang puasa. Terus jangan lupa, adzan itu sangat dinantikan oleh orang yang berpuasa.
Bukan hanya di agama islam, agama lain juga mewajibkan puasa?
Kesamaannya ya menahan lapar. Bicara hikmah, semua pasti berujung pada satu tujuan. Jadi harus diyakini dulu bahwa melaksanakan perintah agama, pasti akan berujung pada satu kebaikan. Logikanya dibalik, ketika ada satu larangan, itu dampaknya pasti jelek terhadap manusia.
Kenapa umat zaman dahulu melakukan puasa? Karena sama, proses mendekatkan diri kepada Tuhan, itu harus dilalui dengan cara, bagaimana dia mengendalikan hawa nafsunya. Dengan puasa, manusia dilatih agar dia tidak terlalu mengikuti hawa nafsunya.
Bagaimana mestinya puasa sebagai ibadah individu bisa membawa dampak sosial?
Dalam islam, setiap ibadah itu hakekatnya tidak hanya bersifat vertikal, artinya hubungan manusia dengan Tuhannya saja. Kemudian akan terlihat akhlaknya. Puncak dari keimanan itu akhlak.
Kemudian kita juga ikut merasakan, orang miskin itu laparnya setiap hari, kita mah cuma satu bulan. Itupun kadang-kadang setelah satu bulan itu makan bisa lebih-lebih lagi. Dan masih banyak aspek sosial lainnya.
Puasa di tahun politik, sejuknya bulan Ramadan belum terasa, kenapa yah?
Ini menujunkan bahwa puasanya bisa dikendalikan, tapi orangnya belum bisa dikendalikan. Diri sendirinya belum bisa dikendalikan. Kita belajar menahan diri tidak berbicara kasar, bicara kotor, atau bahkan berdebat berlebihan. Setelah bulan Ramadan, bisa semakin menahan diri. Bukan sebaliknya.
Sosok Muslim seperti apa seharusnya ketika sudah melewati ibadah puasa itu?
Mestinya ada bentuk peningkatan ibadah. Misal setelah puasa Ramadan, dilanjutkan dengan puasa Senin-Kamis, atau minimal puasa Senin dulu saja. Atau bisa ditingkatkan bacaan ayat Alquran setelah salat. Atau juga jika di hari biasanya kita bangun subuh, minimal sebelum subuh kita bisa dua rakaat dulu Tahajud. Intinya ada efeknya, ada produktivitas dalam bentuk ibadah.