SUKABUMIUPDATE.com - Segenggam lempung, dicampur tanah liat dan sedikit air ditaruh di atas pelarik. Saat pelarik diputar oleh tangan, kombinasi tanah lengket nan kental, yang bentuknya masih tak karuan itu lalu disulap sedemikian rupa oleh sepasang tangan perempuan cekatan.
Sepasang tangan cekatan itu adalah milik Ina, perempuan berusia 50 tahun asal Kampung Cigintung, Desa Gunungsungging, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, yang sudah puluhan tahun menekuni profesi sebagai perajin tanah liat.
Informasi yang dihimpun, Kampung Cigintung, tempat Ina tinggal, dahulu kala adalah sentra perajin alat-alat rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, atau disebut dengan gerabah.
Seiring berjalannya waktu, saat perajin yang lainnya lebih memilih pindah ke profesi lain, ibu empat anak itu tetap setia dengan ketekunannya menjadi perajin tanah liat. Bahkan bisa dibilang, Ina kini menjadi satu-satunya perajin tanah liat di wilayah tersebut.
Apalagi, kebolehannya mengolah segenggam tanah menjadi barang bernilai rupiah merupakan warisan dari orang tuanya. Ina tak ingin warisan itu lenyap begitu saja. Malahan, ia sungguh berharap anak-anaknya bisa melanjutkan semangatnya menjadi perajin tanah liat.
BACA JUGA: Semangat Pasutri Perajin Gerabah di Cigintung Sukabumi Lawan Gempuran Produk Modern
"Dulu itu, waktu masih kecil saya sering lihat orang tua saya bikin alat-alat dari tanah liat. Ini kebiasaan turun-temurun, bahkan kakek saya juga sama. Di sini, sejak dulu sampai sekarang bahan bakunya masih tersedia," kata Ina saat ditemui sukabumiupdate.com, Rabu (9/9/2020) di gubuk kayu tempat ia biasa memoles tanah liat.
Tangan Ina yang cekatan dan berpengalaman itu sudah membuat gentong, kendi, teko, cobek, piring, asbak dan kerajinan lain yang tak terhitung jumlahnya hanya dari tanah liat.
Ina (50 tahun), perajin tanah liat asal Kampung Cigintung, Desa Gunungsungging, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi.
Yang paling mencengangkan, Ina tak pernah mematok harga untuk setiap karya yang ia buat dari tanah liat itu. Kalaupun terpaksa harus ditanyai harga, ia tak pernah membanderol sampai di atas Rp 20.000.
Contoh misalnya ketika ia dapat pesanan membuat cetakan surabi, Ina hanya membanderol Rp 10.000 per unit, lengkap dengan tutupan cetakan tersebut. Atau saat ada pesanan membuat teko lengkap dengan cangkirnya, tak pernah dibanderol dengan harga selangit.
BACA JUGA: Perajin Tungku Cipancur Sukabumi Kesulitan Jual Produknya
Padahal, mulai dari membentuk, menjemur, hingga membakar tanah liat di atas tungku, prosesnya tak mudah dan butuh waktu beberapa hari. Itu belum termasuk keringat yang terkuras saat mengambil bahan baku yang mesti diangkut.
"Kalau saya kasih harga mahal, takutnya pada enggak mau beli. Jadi seringnya saya persilahkan saja mau bayar berapa. Soal harga mah masih bingung juga. Seringnya nego sama yang pesan. Tapi alhamdulillah kalau rezeki mah, masih bisa sekolahkan anak-anak, bantu suami," ujarnya, seraya sesekali menyusut lumpur yang berceceran di kaki dan pakaiannya.
Ina kini tak banyak dibebani biaya sekolah anak, lantaran anak-anaknya kini sudah berkeluarga. Selain aktivitasnya membuat aneka kerajinan dari tanah liat, Ina kini tengah sibuk mengurus cucu, sesekali menemui kerabatnya yang masih ada.
"Anak-anak saya, dua laki-laki dan dua perempuan. Sekarang belum ada yang meneruskan. Mungkin belum saja, nanti kalau sudah waktunya mungkin mereka tertarik dengan sendirinya tanpa harus dipaksa atau disuruh-suruh," tandasnya.