Nasionalisme Tionghoa kerap dipertanyakan dalam setiap momen perjuangan, termasuk di Sukabumi, hal ini disebabkan persepsi keliru mengenai isu pribumi-asing. Bahkan banyak yang menuduh bahwa orang Tionghoa selalu memihak kepada kaum penjajah atau penguasa dan mendapatkan keistimewaan, sehingga nasibnya selalu beruntung. Isu-isu ini seringkali dimunculkan saat ada perhelatan politik dengan dikipasi oleh isu mayoritas minoritas. Kedua isu itu sebenarnya sudah tidak relevan lagi karena masyarakat Tionghoa sudah lama berada di Sukabumi, bahkan pendakwah Islam awal bernama Raden Qudratullah yang dimakamkan di Pelabuhanratu adalah orang Tionghoa. Begitupula isu mayoritas minoritas sudah tidak relevan karena dengan kekuasaan ekonominya selama beberapa zaman, orang Tionghoa bukan lagi 'minoritas' di negri ini. Tulisan ini merupakan sebagian cuplikan dari Buku Perjalanan Masyarakat Tionghoa di Sukabumi yang merupakan hasil penelitian objektif penulis selama hampir dua tahun.
Orang Tionghoa tidaklah seberuntung yang sebagian orang kira. Pada masa kolonial Belanda, orang Tionghoa mendapatkan perlakukan hukum dan peradilan yang diskriminatif. Dalam perkara kriminal, tertuduh Tionghoa harus diadili di Landraad, statusnya disamakan dengan kaum pribumi. Dalam perkara sipil/perdata yang berkaitan dengan soal perdagangan, hutang-piutang, dan harta warisan, peradilan orang Tionghoa ditangani Raad van Justitie, yaitu peradilan untuk orang Eropa. Menjelang akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan aturan-aturan lain yang intinya adalah untuk membatasi gerak langkah etnis Tionghoa di Indonesia melalui Politik segregasi (pemisahan) diantaranya Wijkenstelsel (pusat pemukiman Tionghoa) dan Passenstelsel (surat ijin perjalanan). Namun karena etos kerjanya yang kuat, mereka mampu bersaing dalam aktivitas ekonomi dengan orang Eropa. Tahun 1842 perkebunan Sinagar, Cibadak, sudah dikelola oleh Tan Soeij Liong, jauh sebelum disewa oleh keluarga Tea Planter Kerkhoven. Bahkan menjelang akhir kekuasaan Belanda, terdapat 50 perkebunan swasta di Sukabumi yang dikelola orang Tionghoa. Lebih dari 15 Penggilingan padi di Sukabumi dimiliki orang Tionghoa.
Politik Segregasi menyebabkan orang Tionghoa terisolir secara fisik dan secara sosial. Posisi mereka sejak jaman dulu dikenal sebagai “minoritas perantara” (middleman minority). Mereka menduduki ceruk perantara (intermediate niche) dalam sistem ekonomiyang melayani baik kelompok Penjajah dan Pribumi. Penjajah memberi mereka tugas-tugas yang tidak populer dan dibenci masyarakat seperti pungutan pajak jalan dan bisnis candu sehingga seringkali menjadi kambing hitam yang alami (natural scapegoat). Karena itu mereka harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan siapapun yang berkuasa, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis mereka masih dibutuhkan. Meski terjadi kecemburuan, namun hubungan sosial dengan masyarakat Sukabumi masih terjaga baik tanpa gesekan. Banyak kisah-kisah orang Tionghoa yang baik seperti keluarga Zecha yang dermawan, Nyonya Louis (istri Kapitan Tionghoa Sukabumi Sim Keng Koen) yang menolong orang-orang yang terkena wabah penyakit di Sukabumi, atau kebaikan Thung Siang Hiap di Tendjodjaja Cibadak yang terekam di masyarakat.
Situasi kolonialisme menyebabkan sikap nasionalisme Tionghoa Sukabumi saat itu terkotak, yaitu nasionalisme berorientasi pada Tiongkok, berorientasi pada Hindia Belanda dan berorientasi pada perjuangan nasional. Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Batavia oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat. Para petinggi THHK banyak berhubungan dengan para tokoh Tionghoa di Sukabumi diantaranya redaktur Li Po. Di Sukabumi sekitar tahun 1906 pasca diresmikannya THHK Cabang Sukabumi sebagai badan hukum, didirikanlah Sekolah Chung Hua yang menempati lokasi Jl. Plabuan II. Buku-buku pelajaran yang digunakan di THHK umumnya diimpor dari Tiongkok atau Singapura yang isinya dianggap tidak sesuai dengan keadaan di Hindia Belanda. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda mendirikan Holland Chinese School (HCS) di Sukabumi tahun 1908 untuk menanggulangi bahaya nasionalisme Tiongkok. HCS sendiri merupakan sekolah berbahasa Belanda dan standar pendidikan Eropa.
Selain itu muncul pula nasionalisme yang berorientasi pada Hindia Belanda yang diwakili oleh organisasi politik Chung Hwa Hui (CHH) yang didirikan pada tahun 1928. Gerakan ini mendapatkan dukungan dari kalangan intelektual peranakan. Kelompok ini menganjurkan menerima kekawulaan Belanda dan aktif berpartisipasi dalam lembaga-lembaga politik lokal termasuk dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Di Sukabumi banyak pula para pemilik perkebunan yang menjadi anggota Chung Hwa Hui, diantaranya Tan Eng Thay dari Gunung Walat. Yang menarik ternyata nasionalisme indonesia juga berkembang luas yang diwakili oleh PTI (Partai Tionghoa Indonesia) yang didirikan pada tahun 1932. PTI seringkali bekerjasama dengan para tokoh pergerakan nasional seperti Amir Sjarifudin yang sempat tinggal di Sukabumi atas bantuan pengacara Tjiong Tie. Uniknya di Sukabumi meskipun orientasinya terpecah namun mereka juga membantu memberitakan pergerakan nasional. Misalnya Koran sinpo yang dikenal berorientasi pada nasionalisme Tiongkok, pada bulan juli 1915 memberitakan tentang pertemuan sarekat islam di Selabatu sukabumi. Bahkan redaktur Sin Po Liem Koen Hian nampak bersimpati kepada nasionalisme Indonesia. Wartawannya bernama Kwee Kek Beng menulis rubrik Djamblang Kotjak di Sin Po. Pada zaman Jepang Kwee yang anti Jepang, diburu oleh Kenpeitai atau polisi rahasia Jepang. Ia sempat bersembunyi di di Selabintana.
Pada saat Jepang menyerang Hindia Belanda, Sukabumi dijadikan tempat persembunyian barang milik pengusahaTionghoa maupun persembunyian tokoh-tokoh Tionghoa. Namun terjadi kekacauan dan peristiwa penggedoran saat Jepang memasuki Sukabumi sehingga para pengusaha banyak mengalami kerugian. Tjung See Gan, seorang importir dan grosir tekstil terbesar yang memindahkan stok barangnya ke Cibadak menderita kerugian 370.000 gulden karena dirampok. Demikian juga dengan Hioe Nyan Yoeng, pengusaha tekstil terkemuka lainnya menderita kerugian 280.000 gulden. Tan Hoan Kie, pemilik toko De Zon, department store terbesar yang memindahkan stok barangnya ke Sukabumi, mengalami kerugian yang sama. Meskipun secara fisik hampir mirip, Jepang ternyata bersikap memusuhi akibat perang Jepang-Cina yang menimbulkan dendam politik. Sebagian warga Tionghoa di Sukabumi menghindari kejaran Jepang. Bahkan sebanyak 100 orang sebelumnya membuat permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk ikut mengungsi bersama keluarganya ke Australia namun ditolak dan malah diminta membantu menghadapi Jepang. Isu merajalela diantaranya isu Tjiong boen Hok (Pemilik Pabrik Tjiboenar) yang dikabarkan tewas ditembak oleh seorang serdadu Jepang desersi namun ternyata berita itu bohong belaka.
Jepang menyadari potensi orang Tionghoa sebagai penggerak roda ekonomi sehingga tetap dibiarkan tanpa gangguan, tak ada yang dimasukan ke kamp interniran, dan tak ada yang diminta jadi pekerja Romusha, warga Tionghoa mendapat pengecualian dan dibiarkan bebas. Hal inilah yang mungkin menambah persepsi negatif di masyarakat. Sebagian warga Tionghoa di Sukabumi seperti Mr. Tan Go Poan melakukan pendekatan kepada pemerintah Jepang melalui Ken Minami orang jepang bekas anak buahnya di penerbitan Sin Po yang menjadi penerjemah pemerintah Jepang. Dalam masa Penjajahan ini mau tidak mau orang Tionghoa harus bekerjasama dengan Jepang supaya selamat. Mereka dilibatkan dalam asosiasi-asosiasi seperti asosiasi tenun untuk menunjang Perang yang berpusat di Tjiboenar (Tjiong Boen Hok pernah sempat menjadi ketua asosiasi tekstil Indonesia). Dalam koran terbitan Jepang juga sempat ada berita tentang para pengusaha Tionghoa Sukabumi yang mengumpulkan uang dan disumbangkan ke Pemerintahan Jepang untuk menunjang perang sebagai bukti kesetiaan mereka.
Beberapa tokoh Tionghoa bersembunyi di Sukabumi menghindari tangkapan Jepang, diantaranya adalah Sutisna Himawan (Thee Kian Hong) yang bersembunyi bersama keluarganya di perkebunan Bintang Cibadak yang diadministraturi oleh kerabatnya yaitu oleh Thee Kian Hin. Selain itu Kwee kek Beng wartawan yang pernah jadi redaktur Sin Po bersembunyi di Selabintana menghindari polisi rahasia Jepang. Yap Thiam Hien (dikenal sebagai pejuang HAM) dan keluarganya menyingkir dari Batavia. Yap tinggal di sebuah perkebunan milik temannya seorang jerman ditemani Sato Nakashima orang Jepang yang sering membantu dia selama di Batavia. Selain itu ada pula orang Tionghoa yang bergabung dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang, diantaranya Tjoa Tek Swat yang lahir di Cicurug. Saat Jepang masuk dia bergabung dalam gerakan perlawanan terhadap penjajahan jepang melalui sebuah gerakan bawah tanah yang dinamai "piet van dam". Mereka mensuplai informasi rahasia, senjata dan suku cadang untuk para gerilyawan yang melawan jepang, diantaranya gerilyawan yg dipimpin Van Der Post diwilayah pelabuhanratu dan pegunungan jampang. Gerakan ini kemudian tercium Jepang, Tjoa akhirnya ditangkap. Selama dua tahun dia disiksa dipenjara sampai akhirnya dihukum penggal oleh jepang pada tanggal 12 desember 1944.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, situasi di Sukabumi masih terjadi kekosongan pemerintahan (Vacuum of Power), Pasukan sekutu belum masuk dan keamanan masih sangat labil. Di Sukabumi sikap masyarakat Tionghoa terbelah persis seperti analisis Sejarawan Mary Somers-Heidhues. Dia menyebutkan bahwa sebagian besar etnis Tionghoa tidak ingin berpihak dalam konflik Indonesia-Belanda, karena mereka berpendapat bahwa mereka bukanlah Belanda dan juga bukan Indonesia. Kedua, Tionghoa peranakan maupun totok yang bersimpati dan berjuang di pihak Republik, Ketiga, sikap etnis Tionghoa yang mengharapkan perlindungan Republik Tiongkok.
Mayoritas masyarakat Tionghoa di Sukabumi kebanyakan memang bersikap netral karena situasi masih simpangsiur. Sikap netral ini juga ternyata pada awalnya diminta oleh pejuang Sukabumi seperti pidato yang diucapkan oleh dr Abu Hanifah tahun 1946 (pemimpin perjuangan dan juga Direktur Rumah Sakit Lidwina/Bunut). Padahal fakta menunjukkan bahwa sebagian Tionghoa sudah bersimpati pada perjuangan. Booklet perang gerilya karangan Mao Tse Tung banyak digunakan sebagai buku pegangan oleh pasukan republik di Sukabumi. Diperkirakan booklet strategi tersebut diterjemahkan oleh seorang Tionghoa totok ke dalam bahasa Indonesia. Kesimpangsiuran ini semakin diperumit dengan kedatangan pasukan Inggris dan Belanda terutama yang hendak menguasai Indonesia kembali sehingga mereka mulai bermain di air keruh. Salah satu dampaknya adalah kerusuhan d Tangerang tahun 1946 yang dipicu ulah orang Tionghoa yang menjadi anggota pasukan NICA menurunkan bendera Indonesia dan menembaki penduduk, suatu tindakan yang sebenarnya direkayasa Belanda untuk mengadu domba. Di Sukabumi warga Tionghoa turut bersedih dengan memasang bendera setengah tiang atas kejadian tersebut.
Di Sukabumi sendiri hubungan sosial relatif aman sebelum pasukan Belanda datang. Ada tokoh keturunan Tionghoa dari partai Buruh bernama Soedjono mengupayakan kerjasama erat Tionghoa dengan masyarakat Sukabumi. Sayangnya namanya tenggelam pasca peleburan Partai Buruh menjadi Partai Sosialis. Saat Edi Sukardi menjadi komandan Brigade II Suryakencana, keamanan warga Tionghoa masih relatif terjaga. Namun saat agresi Militer Belanda I, Belanda mencoba melakukan segala cara untuk menghancurkan pejuang salah satunya dengan memancing pejuang dan masyarakat untuk melakukan pengrusakan tehadap aset Tionghoa di Sukabumi. Sebelum melakukan agresi, Pesawat Belanda menyebarkan pamflet berisi pemberitahuan bahwa Sukabumi akan diduduki dan perintah untuk tidak melakukan pengrusakan dan kekacauan. Justru Hal ini memancing para pejuang untuk menghancurkan apapun yang bisa digunakan oleh Pasukan Belanda.
Pihak Tionghoa sebenarnya berusaha mencegahnya dengan mengirimkan tiga perwakilan dari kelompok Chung Hui Sukabumi. Mereka menemui komandan militer Kawilarang yang menjadi pengganti Edi Sukardi, dan meminta supaya aset-aset milik warga Tionghoa tidak dihancurkan. Kawilarang dikenal dekat dengan orang Tionghoa dan sempat mengorganisir pertandingan Sepakbola persahabatan dengan pemuda Tionghoa. Kawilarang menerima mereka dan memberi jaminan bahwa tentara republik akan melindungi aset dan nyawa orang Tionghoa. Namun akibat provokasi Belanda, Tanggal 21 Juli 1947, sekitar pukul 9 pagi para pejuang mulai melakukan penghancuran yang dimulai dari kantor pos dan kemudian pertokoan milik orang Tionghoa. Bangunan Chung Hua Tsung Hui terhindar setelah membayar sebesar 2.000 gulden kepada pejuang. Konon menurut saksi mata, saat penghancuran terjadi, Kawilarang masih berada di Kota dan tak melakukan pencegahan apapun.
Aksi bumi hangus yang menginspirasi peristiwa Bandung Lautan api ini sebenarnya bertujuan melumpuhkan logistik Belanda, namun karena sebagian logistik dimiliki warga Tionghoa sehingga terjadi pula pengrusakan pada aset-aset mlik warga Tionghoa. Pasukan Belanda memasuki Sukabumi pada senin malam dengan disambut beberapa kali kontak senjata dengan pejuang yang bersembunyi dibalik pepohonan, yang menyebabkan satu anggotanya luka parah dan dua lainnya luka ringan. Mereka baru bisa menguasai kota sepenuhnya pada esok hari pukul 8 pagi dan kemudian bergerak ke Cibadak dan Ubrug, sementara para pejuang mundur ke Nyalindung. Pertokoan Tionghoa hancur, disepanjang jalan Grotepostweg hanya dua atau tiga toko yang selamat. sebagian pemilik Toko kembali ke toko mencari perabotan yang tersisa. Gudang sawit dan karet juga dihancurkan oleh dinamit.
Diluar kota yaitu Cibadak, properti milik Tionghoa juga dibakar. Pembakaran kemudian terus menyebar hingga perkebunan-perkebunan. Kemudian Pabrik tekstil Tjiboenar cisaat menimbulkan kerugian 20.000.000 gulden, dan percetakan disukabumi bernilai jutaan gulden habis dibakar. Rumah, toko, dan gudang yang habis dibakar berjumlah 233 buah,tapi tidak ada korban jiwa. 72 pabrik teh disukabumi dihancurkan, dicibadak 40 rumah dan toko serta 2 buah gudang karet dibakar habis, tanpa korban jiwa. Penggilingan padi di parungkuda dan perumahan di tenjo ayu dibakar. Konsul Jenderal Cina di Batavia berpidato melalui radio menunjukan rasa simpati, dan kemudian mengadakan perjalanan bersama Konsul Jenderal Belgia, Van der Stlchelen ke Sukabumi. Taktik bumi hangus ini menjadi komoditas Belanda di media internasional dengan terus menerus menyiarkan pengrusakan atas aset Tionghoa di Sukabumi.
Pasca agresi Sukabumi menjadi wilayah pendudukan Pasukan Belanda. Sebagai pedagang posisi orang Tionghoa di Sukabumi masa Revolusi kemerdekaan memang dilematis, disatu sisi sudah muncul gerakan perjuangan mengusir penjajah namun disisi lain si penjajah juga masih mengancam, alhasil sikap orang Tionghoa saat itu kebanyakan mengikuti kemana angin berhembus, saat wilayah Sukabumi sebagian dikuasai Belanda mereka melayani Belanda dan menggunakan uang merah (Uang NICA), sedangkan sebagian yang tinggal diwilayah kekuasaan pejuang melayani pejuang dan menggunakan uang ORI.
Kampanye Belanda yang menyudutkan para pejuang dalam masalah Tionghoa menyebabkan kekacauan semakin menjadi dan menyasar korban warga Tionghoa. Pada tanggal 20 Agustus 1947, ditemukan mayat seorang tionghoa bernama A Tjaai di Cibadak utara yg diculik ditemukan dengan luka paha dan tewas. Kemudian penjaga tionghoa di lempari granat dekat pemakaman kerkhof. Awal Sptember 1947 terjadi pembunuhan Lie Djit No, pemilik pabrik di Cipanengah dimana pabriknya juga dibakar. Selain itu terjadi pula pembunuhan Tan Tek Lic dan Tuan Tan Eng Soen yang konon dilakukan laskar tak dikenal, perhiasannya dirampok. Kemudian pekerja pabrik tekstil tua Mr. Lim Boen Touw. Mr. Lim Tek Pah yang diculik kelompok tak dikenal.
Kejadian pengrusakan dan pembunuhan ini menimbulkan ketakutan sehingga menyebabkan munculnya reaksi sebagian warga Tionghoa untuk mengambil jalan ekstrem guna melindungi asetnya, terutama diinisiasi oleh para pengusaha. Akibatnya muncullah Laskar Pao An Tui cabang Sukabumi yang dibentuk oleh organisasi Chung Hua Chung Hui Sukabumi yaitu organisasi para tuan tanah Tionghoa kaya yang pro nasionalis Kuo Mintang (Chiang Kai Sek). Pao An Tui Sukabumi dibentuk pada tanggal 10 September 1947 dan mengangkat Thung Bie Thaij (Administratur onderneming Sindanglaka yang tinggal di Barosweg) sebagai ketua, Tan Tek Houw dan Lie Tek Tjoan sebagai sekretaris, dan Phe Thoen Eng sebagai Direktur. Dalam bulan itu juga dikirimkan beberapa milisi Tionghoa Sukabumi untuk dilatih oleh pasukan KNIL Belanda di Cimahi.
Namun pada akhirnya pembentukan Pao An Tui ini makin memperuncing persoalan. Mereka menjadi sasaran penyerangan para pejuang dan dianggap sebagai sikap resmi masyarakat Tionghoa. Poa An Tui yang berada dikota Sukabumi sempat diserang para Pejuang pada bulan Februari 1948 diwilayah Cipelang dan Ciseureuh. Pao An Tui di sukabumi banyak yang melindungi pabrik-pabrik dan berkoordinasi dengan tentara Belanda. Belanda secara licik mengunakan Poa An Tui sebagai alat politik adudomba untuk mencari kemenangan politik di Dunia Internasional. Hal ini memicu kebencian dan menggeneralisir orang Tionghoa sebagai oportunis dan simbol penjajahan.
Seorang desersir Belanda, Princen, yang membunuh dua anggota Pao An Tui dalam operasinya di perkebunan Hardjasari dijadikan sasaran propaganda Belanda untuk menjelekan para pejuang. Dalam kejadian itu administraturnya bernama Kwee Tjiong Jong berhasil melarikan diri sedangkan dua anggota Pao An Tui tewas salah satunya bernama Tan Hoat Lee. Selain itu ada warga Tionghoa di Cireunghas bernama Auw Ceng Suy dan istrinya Kho Pit Nio serta anaknya umur 4 tahun yang diculik barisan pemuda proletar pimpinan Sambik (eks Digoelis). Laskar inilah yang menggorok leher Lurah Cipurut dan Bencoy karena dianggap bekerjasama dengan Belanda. Mereka baru dilepaskan saat diserang patroli Belanda.
Karena Pao An Tui ini dibentuk Belanda maka tokoh Pao An Tui mau tidak mau harus mendukung program Belanda. Dalam bulan februari 1948 diadakan konferensi RECOMBA seJawa Barat dengan perwakilan dari bangsa Indonesia, Tionghoa, Belanda dan Arab. Dari Sukabumi hanya diwakili perwakilan Tionghoa yaitu Thung Bie Tjay. Thung kemudian diangkat menjadi anggota Parlemen negara Pasundan mewakili Sukabumi sekaligus menjadi pimpinan Pao An Tui Afdeling Sukabumi. Dilema Oportunistik ini akhirnya berakhir tragis, Thung tewas ditangan para pejuang tepat diperkebunannya sendiri. Dia diserang oleh sekitar 100 orang pejuang pada hari jumat dan sabtu 25-26 Maret 1949. Media Belanda juga menghasut orang Tionghoa dan memfitnah Mr Sjamsoedin dengan menyebutkan bahwa tokoh republik ini tidak hanya anti-Belanda, tetapi juga anti Tionghoa. Hal ini terjadi ditujukan untuk mengacaukan proses pengakuan kedaulatan Belanda terhadap Indonesia.
Jika ditelusuri sebenarnya kondisi gesekan terjadi saat pasukan Belanda menguasai Sukabumi dan menebar desas-desus serta propaganda, hal ini menyebabkan masyarakat terbelah. Padahal banyak warga Tionghoa yang meninggalkan pragmatisme dan benar-benar berjuang, diantaranya ada nama Bang Cay seorang Tionghoa yang konon tergabung dalam pasukan Princen. Selain itu banyak Tionghoa di Sukabumi membantu perjuangan melalui kekuatan ekonominya. Misalnya Oey Ek Koey, bagian peralatan di bawah pimpinan Kapten Louis Yahya. Oey memanfaatkan isu pekerja perkebunan yag masih digunakan sebagian Belanda dan memberitahukan opsir Belanda di Jakarta bahwa para pekerja di perkebunan, kelaparan dan membutuhkan beras. Opsir Belanda tersebut mengeluarkan beras dengan alasan "program kemanusiaan", padahal yang terjadi sesungguhnya Oey memberi suap sebesar 10.000 gulden setiap mengirimkan beras yang ternyata dipakai untuk mensuplai para pejuang Sukabumi.
Kemudian ada Liong Ki Se yang tinggal bersama orang tuanya di di Sukabumi, saat jepang kalah ia bersama dengan dua saudaranya mengadu nasib di kota Jakarta, dua saudaranya menjadi pedagang, sedangkan Liong Ki Se memilih masuk satuan MOBRIG (sekarang Brimob). Liong ikut beberapa pertempuran melawan tentara Belanda, namun nahas saat bertempur di daerah depok tahun 1948 ia tewas tertembak, saat ini ia adalah etnis Tionghoa pertama yang dimakamkan di TMP Kalibata.
Di Kota Sukabumi terdapat perempatan yang dikenal sebagai perempatan Si Godeg. Nama aslinya adalah Lay Tin Yung, dia adalah pedagang dan juga pejuang. Saat agresi militer Belanda pertama bulan juli 1947, dia turut berjuang bergerilya bersama pasukan Batalyon VII pimpinan Kabul Sirad di wilayah Selaawi/Nangeleng mengganggu pasukan Belanda, hingga akhirnya mundur kearah nyalindung. Kemudian setelah perjanjian Renville dia turut serta hijrah ke Jawa Tengah bersama H. Oting Afgani dan membantu penanganan wilayah. Akhirnya kembali ke Sukabumi tahun 1948 bersama pasukan RA Kosasih, dia kemudian ditempatkan di Cigunung. Rumahnya acapkali jadi tempat berkumpul, wajahnya yang brewokan dikenal sebagai si godeg. Kode tempat untuk berkumpul juga disebut si godeg, yaitu rumah tempat tinggalnya diperempatan jalan baros (perempatan sigodeg sekarang). Saat itu tentara belumlah punya gaji sehingga si godeg yang bertanggungjawab menggajinya. Namun tentara membantu dia dalam mencari hasil bumi untuk dijual sehingga terkesan saling membantu.
Selain itu ada Lie Tek Fok dikenal sebagai Tionghoa yang humanis di Sukabumi. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang datang pertamakali ke Jampang Kulon tahun 1908 untuk berjualan kain. Lambat aun usahanya kemudian membesar sehingga menjadi pengusaha besar, diantaranya memiliki penggilingan padi dan pabrik tepung kanji. Di Sukabumi ayahnya dikenal sering membantu masyarakat kecil. Sang Anak, Lie Tek fok, malah berkecimpung langsung dalam perjuangan melawan penjajah. Dia bergabung dengan pasukan Republik dibawah Komandan Sanusi dan diberi pangkat sersan. Lie Tek Fok membiayai pasukan sanusi dan juga pejuang lain dari toko hasil bumi yang ia kelola. Informasi dari beberapa sumber menyebutkan bahwa ia juga mengelola sumbangan-sumbangan dari para pengusaha Tionghoa untuk membantu perjuangan di Sukabumi.
Dari fakta diatas bisa disimpulkan bahwa nasionalisme masyarakat Tionghoa di Sukabumi berproses mengikuti perkembangan jaman. Gesekan terjadi justru saat muncul kepentingan besar yang ingin berkuasa dan mengorbankan keharmonisan hubungan sosial masyarakat. Hal ini menjadi pengalaman traumatik bagi masyarakat. Sebagian meresponnya dengan mencari pengamanan penguasa, namun tak sedikit yang idealis berjuang untuk kemerdekaan negeri ini hingga darah tertumpah dan nyawa melayang. Sejarah seharusnya dijadikan pelajaran penting bangsa ini. Sangat disayangkan jika pola gesekan akibat tertipu propaganda kekuasaan dimasa lalu masih ditiru bangsa ini. Hari kemerdekaan merupakan refleksi merdekanya seluruh bangsa tak terkecuali masyarakat Tionghoa. Saat ini bukan lagi jaman kolonial, setiap manusia berhak hidup dan merdeka di negeri ini. Setiap persoalan kekuasaan akan selesai, jaman akan selalu berubah, jika kita terjebak untuk terlibat dalam konflik politik sesaat, maka yang menderita bukan kita saja tapi anak cucu kita yang diwariskan persoalan. Seharusnyalah kebersamaan ini kita jaga, karna kita akan hidup berdampingan di tanah ini hingga akhir hayat.
Oleh: Irman "Sufi" Firmansyah
Email: [email protected]