SUKABUMIUPDATE.com - Politik Identitas di momentum Pemilihan Umum (Pemilu) seolah tidak pernah sepi dari pemberitaan media, tak terkecuali Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada.
Di tahun 2024, Politik Identitas menyasar para pasangan calon (Paslon) yang ikut berkontestasi dalam pesta demokrasi Indonesia ini.
Lebih jauh, menilik kilas balik Pemilu Indonesia, Politik Identitas pernah muncul mencatut nama Jokowi hingga Prabowo.
Kilas Balik Politik Identitas di Masa Pemilu
Pada Februari menjelang Pemilu 2019, beredar di media sosial sebuah foto Jokowi bersama seorang wanita yang diklaim adalah ibu Jokowi bernama Sulami, yang merupakan aktivis Gerakan Wanita Komunis Indonesia atau Gerwani.
Merujuk cekfakta.com, faktanya, informasi itu merupakan hoaks untuk menciptakan sentimen terhadap agama tertentu. Penelusuran Tempo.co pun telah menurunkan laporan terkait tudingan PKI yang dialamatkan kepada Jokowi dengan judul: “Dua Akademikus Menulis Buku Sangkal Jokowi Anak Anggota PKI”. Sejalan dengan itu, Tirto.id juga telah menurunkan laporan yang menjelaskan asal-usul ibunda Jokowi.
Tak hanya Jokowi, di tahun yang sama, sebuah narasi biografi tentang Capres Nomor Urut 02 Prabowo Subianto tersebar, yang menyebutkan nama asli Ayahnya adalah Soo ming tauw (kanton) atau Soo minh doo (Hokian). Dalam narasi itu juga disebut putra tunggalnya adalah Gay dan pendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Kebenarannya, hasil Cek Fakta biografi Prabowo Subianto menunjukkan itu adalah informasi palsu atau hoaks yang sengaja dibuat untuk memobilisasi suara dalam pemilu dengan isu identitas berbasis SARA. Adapun faktanya, nama asli Ayah Prabowo adalah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan narasi tentang anak sulung Prabowo adalah tidak benar alias Hoaks.
Merujuk Jurnal Ilmu Hukum Humaniora dan Politik yang ditulis oleh Osbin Samosir dan Indah Novitasari dari Universitas Kristen Indonesia tahun 2022, Isu Jokowi seorang PKI diketahui mulai tersebar sejak tabloid OBOR RAKYAT menurunkan tulisan soal riwayat calon presiden Joko Widodo pada Mei 2014 atau dua bulan sebelum Pilpres 2014 berlangsung.
Serupa di laman cekfakta.com, disebutkan bahwa dalam tabloid OBOR RAKYAT, Jokowi disebut sebagai “Capres Boneka” yang harus menjalankan perintah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan melayani kepentingan Megawati, Ketua Umum PDIP. Sebagian tulisan tabloid itu turut menuding Jokowi sebagai Muslim yang menyimpang; keturunan Cina dan simpatisan komunis.
Selain itu, dalam tabloid OBOR RAKYAT mengklaim bahwa Jokowi sejatinya bukan merupakan putra dari Widjiatno Notomihardjo, melainkan putra dari salah seorang tokoh PKI bernama Oey Hong Leong. Jokowi juga disebut-sebut memiliki nama baptis; Hubertus Handoko. Informasi seperti ini menciptakan sentimen terhadap agama tertentu. Tabloid yang muncul saat Pemilu Presiden 2014 ini, menurut Tempo (2018), merupakan salah satu corong buruk sejumlah pihak tertentu karena selalu menyajikan berita bohong tak berdasar terhadap diri calon Presiden Joko Widodo.
Tabloid OBOR RAKYAT disinyalir menjadi pemicu awal meningkatnya berita palsu dengan isu identitas berbasis SARA. Tabloid itu dicetak sekurang-kurangnya seratus ribu eksemplar dan disebarkan ke pesantren dan masjid di pulau Jawa untuk untuk menyudutkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla selama Pemilu 2014.
Faktanya, apa yang ditulis di tabloid OBOR RAKYAT merupakan informasi yang menyesatkan atau disebut berita bohong (hoaks). Pasalnya, Jokowi maupun keluarganya bukan orang PKI, bahkan dirinya dan keluarganya beragama islam. Diketahui, pemimpin di balik Tabloid OBOR RAKYAT divonis bersalah pada 2016 lalu.
Baca Juga: Survei Pilkada Merebak, 5 Tips Cek Fakta Agar Tidak Terjebak Konten Keliru
Politik Identitas di Pilkada Sukabumi
Di Pilkada Kabupaten Sukabumi 2024, setidaknya ada dua isu Politik Identitas yang ditemukan redaksi. Pertama, informasi yang menggunakan nama paslon 01 Iyos Somantri-Zainul, dan yang kedua adalah narasi tentang Calon Wakil Bupati Sukabumi nomor urut 02, Andreas.
Penelusuran redaksi sukabumiupdate.com menunjukkan, ada sebuah postingan Facebook di grup Diskusi Pilkada Kabupaten Sukabumi yang menyebut paslon 01 adalah anak PKI.
Dewek Sapta Anugrah, ketua panitia deklarasi sekaligus Founder Misformi (Muda Iyos Somantri for Sukabumi), mengatakan bahwa "Penggiringan opini oleh salah satu akun yang tidak teridentifikasi yang menyangkut pautkan Paslon 01 Pak Iyos dan Pak Zainul dgn PKI merupakan fitnah besar yang sengaja dilakukan untuk menggiring opini publik, terlebih tidak ada keterkaitan Pak Iyos dan Pak Zainul dengan partai tersebut yakni PKI", terang Dewex ketika dihubungi sukabumiupdate.com, Senin, 2 Desember 2024.
Adapun paslon 01 dengan PDIP, lanjut Dewex, memang ada keterkaitan secara politik dalam konteks Pilkada karena PDI Perjuangan merupakan partai pengusung pak Iyos dan Pak Zainul. Namun demikian, narasi informasi dalam konten di media sosial tersebut adalah keliru.
“Adapun yang mencatut nama Ibu Ribka Tjiptaning dengan hal-hal lain, kita tahu bahwa Bu Ribka merupakan mantan legislator PDI Perjuangan di dapil Ko/Kab Sukabumi." kata Dewex.
Dewex juga menegaskan, paslon 01 memiliki hubungan politik secara kelembagaan, bukan perseorangan, “Bukan Ribka ya tapi PDI Perjuangan nya.” tuturnya.
Sementara itu, Politik Identitas yang muncul terhadap 02 adalah soal KTP lama Cawabup Andreas yang tersebar di media sosial saat Masa Kampanye Pilkada 2024.
Calon Wakil Bupati Sukabumi nomor urut 2, Andreas, angkat bicara terkait beredarnya foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) lama dirinya yang mencantumkan agama Konghucu. Andreas yang kini diketahui seorang muslim dan telah menunaikan ibadah haji itu menjelaskan bahwa, perubahan keyakinan adalah bagian dari perjalanan spiritual yang dia jalani dengan penuh kehati-hatian.
"Hidayah itu tidak bisa diukur dengan apapun, itu hanya Allah yang mengetahui tentang perjalanan spiritual seseorang," ujar Andreas kepada sukabumiupdate.com, Selasa (12/11/2024) lalu.
Andreas menegaskan, bahwa keimanan adalah urusan pribadi dengan Allah, bukan sekadar pengakuan di KTP.
"Kalau hanya soal pengakuan di KTP, itu hanyalah formalitas. Urusan keimanan jauh lebih mendalam dan tidak bisa diukur dari KTP. Jika ada yang menggunakan isu ini untuk kepentingan politik, saya rasa itu kurang elok," paparnya.
Andreas menekankan pentingnya persatuan masyarakat Sukabumi dalam menghadapi pemilihan kepala daerah, terlepas dari perbedaan yang ada. Andreas percaya bahwa kontestasi politik tersebut seharusnya didasarkan pada visi dan misi, bukan perbedaan latar belakang.
"Yang kita lihat adalah visi dan misinya, bagaimana membentuk Kabupaten Sukabumi yang berkah dan mubarakah, serta menjawab kebutuhan masyarakat," tuturnya.
Terpisah, Ketua Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Sukabumi, Faisal Rifa'i mengatakan informasi mengenai KTP salah satu paslon yang disebarluaskan sudah dilakukan penelusuran. Ia menegaskan, pihaknya telah melakukan investigasi melalui Panwascam kepada yang bersangkutan, yang penyebar KTP-nya.
"Jadi kesimpulan dari hasil penelusuran memang unsur pelanggaran SARA-nya tidak ditemukan, karena itu bersifat di internal, jadi tidak di publik, dan dia tidak bermaksud berkenaan dengan isu kebencian atau SARA" kata Faisal ketka ditemui di Kantor Bawaslu, Selasa, 26 November 2024.
Akan tetapi, lanjut Faisal, hal itu (persoalan KTP) lebih kepada delik aduan, artinya ketika ada para pihak yang merasa dirugikan, maka bisa melakukan pengaduan berkenaan dengan undang-undang ITE, karena menyebarkan dokumen pribadi tanpa izin.
Sejalan dengan hal tersebut, Ketua Bawaslu Kabupaten Sukabumi mengatakan soal konten di media sosial, masyarakat sebaiknya bisa melihat dari jejak rekam calon, visi-misi dan program-program yang akan mereka lakukan ketika mereka nanti terpilih dibandingkan menyoroti konten yang belum tentu kebenarannya.
"Hal-hal yang sifatnya provokasi, ujaran kebencian, terus lagi juga kampanye hitam, saya kira jangan sampai masyarakat tergiring ke persoalan itu." pesan Faisal.
Mengenal Apa Itu Politik Identitas
Soal pengertian Politik Identitas, diketahui tidak ada definisi tunggal untuk istilah “politik identitas” (identity politics) dalam literatur, seperti melansir laman resmi Universitas Islam Indonesia (UII). Akan tetapi secara umum, politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda, aksi, aktivisme politik dengan anggota kelompok berbasis identitas.
Menurut literatur, politik identitas yang lahir di tahun 1970an di Amerika, merupakan gerakan untuk melawan ketidakadilan. Contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di Amerika yang saat itu menjadi warga kelas dua.
Kala itu, identitas didasarkan pada aspek minoritas, ras, etnisitas, gender, dan kelompok sosial lain yang merasa terpinggirkan. Namun menurut Maarif (2010), seiring perkembangan waktu, identitas didasarkan pada agama, kepercayaan, dan ikatan kultural yang beragam.
Politik Identitas di Indonesia
Merujuk UII, penelusuran dokumen terindeks Google menemukan frasa Politik Identitas sudah digunakan sekitar 20 tahun setelah istilah itu lahir di Amerika, tepatnya sekitar pertengahan atau akhir 1990an.
Artikel Muhammad A.S. Hikam (2000) berjudul “Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil Society” menuliskan bahwa politik identitas yang menggantikan politik kewarganegaraan dapat membuat negara semakin mendapat legitimasi untuk melakukan intervensi atas nama keagamaan dan ketertiban sosial. Padahal, politik identitas dapat membuat negara menjadi tidak netral atau bias terhadap kepentingan kelompok, sehingga berpotensi menyebabkan keterbelahan sosial.
Dampak Politik Identitas
Meski tidak seluruhnya berdampak buruk, menurut Fukuyama, F. (2018), dalam tulisannya berjudul Identity: "The demand for dignity and the politics of resentment. Farrar, Straus and Giroux" dan “Against identity politics: The new tribalism and the crisis of democracy. Foreign Affairs, 97, 90.”, Politik Identitas akan menjadi bermasalah ketika diinterpretasikan atau ditegaskan dengan cara yang salah, yang kehadirannya tidak juga menghilangkan ketimpangan atau ketidakadilan.
Merujuk Jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Politik Identitas dapat berdampak terhadap masyarakat, mulai dari polarisasi sosial, perlakuan tidak setara hingga rentan terprovokasi oleh informasi yang belum tentu kebenarannya. Dalam konteks demokrasi, Politik Identitas dapat menjadi ancaman tersendiri karena lebih banyak memecah belah daripada mempersatukan masyarakat.
“Para pendukung merasa identitas mereka adalah kelompok pilihan ciptaan 'terbaik' yang akan menyelesaikan masalah di daerahnya” tulis I Putu Wingarta, Berlian Helmy, Dwi Hartono, I Wayan Mertadana dan Reda Wicaksono, bertajuk ‘Pengaruh Politik Identitas Terhadap Demokrasi Indonesia, dikutip Kamis (5/12/2024).
Baca Juga: [PREBUNKING] Fenomena Klaim Paslon Menang Pilkada 2024 Pasca Pemungutan Suara
Cek Fakta Sebelum Percaya dengan Verifikasi Informasi
Seperti diketahui, kategori hoaks atau berita palsu atau berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Mengutip Artikel tentang “Hate Speech, Agama, dan Kontestasi Politik di Indonesia”, yang ditulis oleh Winda Wana Utami dan Darmaiza dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, tren kontestasi politik dewasa ini berkaitan dengan meningkatnya Politik Identitas, agama, dan hate speech sebagai wujud demokrasi tanpa moral.
Hasil studi menunjukkan ada dua tipe ujaran kebencian berbasis agama yang menjadi sorotan dalam studi ini yaitu Facebook dan Instagram. Pada Facebook ada tiga momen dalam kontestasi politik yaitu pada tahun 2014, 2017 dan 2019 memiliki tipe yang berbeda serta ada kesamaannya. Hal ini sejalan dengan penemuan dugaan ujaran kebencian di Facebook terhadap salah satu paslon di Sukabumi.
“Ada tiga momen ujaran kebencian berbasis agama di Facebook yaitu pada moment politik 2014, 2017, 2019.” tulis keterangan artikel, dikutip dari Indonesian Journal of Religion and Society, Kamis, 12 Desember 2024.
Menyikapi fenomena hoaks di masa Pilkada Sukabumi 2024, Dewex Sapta Anugerah mengatakan bahwa ini merupakan pekerjaan semua pihak.
“Upaya pencegahan berita bohong atau hoaks tentu harus menjadi pekerjaan semua pihak untuk tidak melakukan hal-hal yg bersifat propagasi sehingga masyarakat bisa mengetahui kebenaran informasi secara positif, apalagi di tengah era digitalisasi semua akan mudah tersebar dengan begitu cepat.” kata Dewex.
Adapun upaya yang dapat dilakukan agar masyarakat bisa membedakan informasi soal Pilkada (termasuk menyangkut paslon) adalah dengan mencari kebenaran informasi.
“Cari kebenaran informasi dengan perbandingan baik yang bersifat laman maupun pemberitaan” tutur Dewex.
Dewex turut berpesan agar masyarakat memastikan bahwa setiap informasi yang disebarluaskan memiliki validasi yang jelas baik dari sisi akun maupun yang lainnya.
Senada dengan itu, Calon Wakil Bupati Sukabumi nomor urut 02 Andreas turut berpesan berkaitan dengan pemberitaan tentang SARA yang melibatkan namanya. Politisi PKB itu mengatakan, Islam adalah agama yang penuh keindahan dan kedamaian, yang merangkul seluruh semua makhluk. Oleh karena itu, ia mengajak sesama muslim untuk menunjukkan bahwa Islam memang seperti itu.
“Jangan sampai Islam tercoreng oleh tindakan kita sendiri sebagai umatnya," tuturnya.
Andreas kemudian mengajak masyarakat Sukabumi untuk belajar berdemokrasi dengan menghormati keyakinan masing-masing. Andreas berharap isu agama ini tidak dibesar-besarkan, karena khawatir akan menimbulkan perpecahan.
"Saya santai saja menanggapi ini. Jangan sampai ada pihak yang tersinggung atau malah menimbulkan perpecahan. Kita tidak ingin ada amarah atau konflik di antara kita," ujarnya.
Tips Cek Fakta dengan Verifikasi Informasi
Merujuk laman cekfakta.com, setidaknya ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membantu menemukan kebenaran sebuah informasi, termasuk soal fakta politik identitas di masa Pilkada 2024 ini.
1. Bandingkan dengan Sumber Terpercaya
Pembaca wajib skeptis! Jangan langsung percaya apalagi menyebarkan informasi dengan judul yang provokatif.
Cek kebenaran informasi dengan menggunakan mesin pencari seperti Google atau Bing.com, dan masukkan judul informasi yang diterima. Cara lain adalah dengan mengecek akun penyebarnya, jika informasi dibagikan melalui media sosial.
2. Baca Informasi Sampai Selesai
Setelah memperoleh hasil pencarian judul yang ingin di cek kebenarannya, Anda harus membaca artikel hasil Cek Fakta hingga selesai. Sebarkan tautan Cek Fakta itu ke media sosial agar keluarga atau kawan-kawan Anda tidak termakan hoaks yang sama.
3. Verifikasi Gambar
Verifikasi keaslian foto yang tersebar di media sosial dapat dilakukan dengan memanfaatkan fitur Google Image atau Yandex Image. Fitur ini dapat membantu mengetahui asal usul gambar yang beredar di media sosial sekaligus informasi apakah gambar merupakan hasil editan atau original.
4. Kunjungi Situs Cek Fakta
Verifikasi kebenaran informasi berikutnya dapat dilakukan dengan mengunjungi situs Cek Fakta resmi seperti cekfakta.com atau turnbackhoax.id.
Situs cekfakta.com adalah platform untuk melawan hoaks, kolaborasi antara Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia dan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, bersama 24 media kredibel. Platform tersebut berisi kumpulan artikel cek fakta yang telah dibuat oleh sejumlah media di Indonesia.
5. Hubungi Tipline Cek Fakta
Terakhir, jika Anda ingin cara yang lebih mudah, kebenaran informasi dapat dicek dengan menghubungi hotline Whatsapp Cek Fakta di nomor 08111 0000 579.
[Prebunking Cek Fakta Pilkada 2024]
Sumber: berbagai sumber.