SUKABUMIUPDATE.com - Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak pada Rabu, 27 November 2024 mendatang menjadi momentum pesta demokrasi Indonesia setelah Pilpres pada Februari lali.
Pilkada serentak 2024 akan berlangsung di 545 daerah, terdiri dari 37 provinsi serta 508 kabupaten dan kota. Laporan Komite Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), sebuah organisasi pemeriksa fakta berbasis relawan menunjukkan, penyebaran hoaks Pilkada 2024 diperkirakan akan meningkat dari kasus Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif, yang saat itu total temuan mencapai 2.119 hoaks pada semester I 2024.
Adapun peredaran hoaks lokal di Pilkada 2024 berpotensi menyerang penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu beserta jajaran ke bawah), kontestan, dan partai pengusungnya.
Hoaks lokal akan muncul dalam berbagai tahapan pemilu, mulai dari pendaftaran, kampanye, pemungutan suara, penghitungan, hingga penetapan. Perlu diwaspadai hoaks lokal akan bersinggungan dengan isu suku, agama, rasa atau etnis, antarkelompok, yang berpotensi meningkatkan segregasi sosial dan memicu konflik sosial.
Diwaspadai pula konten hoaks yang menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan karena proses membuatnya yang mudah.
Baca Juga: Catut Nama Bupati Sukabumi Marwan Hamami, Waspada Penipuan Modus Pesan Kue
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho dalam keterangannya beberapa waktu lalu, telah menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam menghadapi tantangan disinformasi di tahun politik ini. Meskipun Pilpres 2024 relatif lebih rendah dalam politisasi SARA jika dibandingkan Pilpres 2019, ancaman penyebaran hoaks tetap harus diantisipasi dalam konteks Pilkada 2024.
Sejalan dengan hal itu, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Barat telah menggelar training (pelatihan) Cek Fakta dalam rangka melawan gangguan informasi dan hoaks menjelang pelaksanaan Pilkada serentak 2024 di Kota Bandung pada 5-6 Oktober 2024. Dari pelatihan Cek Fakta ini, diketahui ada dua strategi penting untuk melawan gangguan informasi menjelang Pilkada 2024, yaitu Prebunking dan Debunking.
Adi Marsela, pemateri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menganalogikan Prebunking sebagai vaksin. Artinya, prebunking menjadi strategi untuk mempersiapkan dan melindungi orang dari informasi palsu atau hoaks sebelum mereka terpapar. Harapannya, ketika orang menghadapi hoaks atau berita bohong, mereka sudah punya pengetahuan yang membuat mereka lebih skeptis dan kritis.
Sementara debunking adalah proses mengungkap atau membantah klaim, rumor, atau informasi yang salah atau menyesatkan dengan menggunakan bukti dan fakta. Dalam konteks penyebaran hoaks atau berita palsu, debunking sangat penting untuk memastikan bahwa informasi yang beredar adalah akurat dan tidak menyebabkan kebingungan atau kerugian.
Baca Juga: [SALAH] Perempuan Korban Begal di PLTU Cipatuguran Palabuhanratu Sukabumi
Pengurus Mafindo Wilayah Bandung, Hadi Purnama mengatakan, saat proses debunking, tim pemeriksa fakta akan melakukan fact check untuk mengungkap kebenaran di balik klaim yang beredar dan memberitahukan kepada publik agar tidak terpengaruh oleh hoaks.
"Debunking dilakukan ketika hoaks sudah beredar" kata Hadi kepada sukabumiupdate.com, Minggu (6/10/2024).
Johanes Heru Margianto, Managing Editor Kompas.com yang menjadi pemateri kedua menjelaskan, ada pola manipulasi opini publik yang dapat diidentifikasi, diantaranya percakapan medsos, konten profesional menggunakan politik identitas, penggunaan "giveaway" untuk menarik perhatian, maraknya akun palsu, anonim, robot, influencer hingga durasi kampanye.
Pola ini wajib diwaspadai, mengingat Hasil Pemantauan Hoaks pada Semester I 2024 oleh Mafindo menunjukkan, sepanjang tahapan Pemilu 2024 hoaks tetap menjadi alat penting dalam memanipulasi opini publik. Contohnya pada bulan Januari 2024, 33,3% dari hoaks yang tersebar berfokus pada dukungan terhadap capres-cawapres dan reaksi terhadap debat.
Sementara itu, isu kecurangan menguat di bulan Februari-April (antara 13%-22%), ketika beberapa tahapan krusial yang menentukan hasil pemilu berlangsung. Dinamika isu ini menunjukkan bahwa hoaks beradaptasi dengan momentum dan juga menunjukkan bagaimana hoaks digunakan secara strategis untuk membentuk persepsi publik pada momen-momen kritis dalam proses pemilu.
Hoaks juga cenderung mengeksploitasi emosi negatif. Hoaks pemilu banyak mengandung narasi wedge driver (67%), yang bertujuan menjatuhkan pihak-pihak tertentu, dibandingkan dengan tipe pipe dream (31%) yang berfungsi mengangkat citra. Pola ini menunjukkan adanya strategi sistematis untuk mempengaruhi persepsi publik dengan cara yang merugikan.
Baca Juga: [PREBUNKING] Tips Agar Tidak Terjebak Konten Hoaks di Tahun Politik
Oleh karena itu, masyarakat harus selalu waspada terhadap informasi yang beredar agar tidak termakan berita bohong. Masyarakat dapat memeriksa kebenaran di situs resmi dan media yang terverifikasi dewan pers, atau melaporkan dugaan mis/disinformasi ke Tipline Cek Fakta di nomor WhatsApp/081110000579.