SUKABUMIUPDATE.com - Saat perselingkuhan terjadi, orang ketiga atau perempuan kedua itu biasa dituding  khalayak sebagai pelakor atau perebut laki orang. Sungguh sebuah istilah yang tidak enak didengar.
Psikolog Tiara Puspita M.Psi dari tim psikolog TigaGenerasi, Jakarta, mengatakan, secara umum mungkin tidak ada perempuan yang ingin menjadi orang ketiga.
“Saya yakin pihak yang bersangkutan menyadari perilaku dan konsekuensi yang timbul karena perilakunya. Namun mengenai alasannya, saya rasa kurang bijak jika kita menduga-duga atau menghakimi tanpa mengetahui permasalahan yang sebenarnya,†ungkap wanita yang akrab disapa Tita itu.
Perlu dipertimbangkan juga, dalam beberapa kasus, pihak ketiga bisa jadi tidak mengetahui bahwa pasangannya masih terikat pernikahan sah.
“Dalam kasus seperti ini, pihak ketiga juga akan terkena dampak psikologis seperti syok, malu, tersakiti, dan merasa dikhianati—perasaan serupa yang muncul pada pasangan sah,†Tita menyambung.
Ada juga yang sudah mengetahui pasangannya masih beristri dan sudah memiliki anak, tetapi tetap melanjutkan hubungan. Apa pun alasannya, perselingkuhan tidak hanya menyakiti istri sah tetapi juga berdampak pada anak-anak, bahkan si pihak ketiga sendiri.
Ketika sebuah pernikahan yang telah membuahkan anak retak, anak sudah pasti menjadi korban. Anak yang masih kecil mungkin tidak belum terlalu merasakan dampaknya mengingat mereka belum memahami secara jelas masalahnya, seperti ketiga anak Sunu dan Suci.
Bisa saja orang tua membatasi informasi pada anak juga menahan diri tidak meluapkan perasaan marah dan kecewa pada anak.
Namun jika anak sudah memasuki usia remaja, mereka tentu punya akses ke media sosial. Terlebih jika orang tua mereka figur publik. Kemungkinan dampaknya besar, karena anak bisa memperoleh informasi dari berbagai pihak.
“Dampak yang mungkin muncul, selain kemarahan yang meluap dan perilaku yang sulit dikontrol, juga dapat mengakibatkan keretakan hubungan anak dan orang tua, khususnya pihak yang berselingkuh,†Tita memperingatkan.
Dampak terbesar dirasakan oleh wanita yang diselingkuhi. Efeknya bisa berlarut-larut. Ke depannya dia bisa menjadi wanita yang penuh curiga.
“Lantaran adanya insecurity atau perasaan tidak aman bahwa mungkin dirinya akan tergantikan oleh orang lain. Juga adanya kemarahan yang meluap, upaya untuk mengontrol dan menghukum pasangan yang selingkuh. Munculnya keinginan untuk membalas (kepada pihak ketiga), menarik diri, malu, hingga terus mengingat perselingkuhan meskipun pasangannya tidak lagi berselingkuh,†urai Tita.
Akan tetapi tanpa disadari, kita sering melihat perselingkuhan hanya dari satu sisi. Banyak wanita korban perselingkuhan menuding pelakor penyebab tunggal perpecahan dalam rumah tangga. Tanpa mengintrospeksi diri terlebih dahulu, apakah kualitas hubungan kita dengan suami sudah baik?
Apakah hubungan ini sudah memuaskan dan membahagiakan kedua pihak? Apakah ada masalah yang tidak pernah benar-benar terselesaikan? Ada dua orang yang terikat pernikahan.
“Banyak aspek yang bisa menyebabkan perselingkuhan dan sering kali jika ditilik lebih jauh, pihak ketiga lebih merupakan bagian dari rangkaian permasalahan pernikahan yang sudah ada sebelumnya,†Tita mengingatkan.
Bagi pihak ketiga itu sendiri, terutama jika mereka publik figur, risikonya adalah permasalahan pribadi ini terungkap ke media. Tentunya konsekuensi psikologisnya sangat hebat.
“Sekalipun bukan publik figur, akibatnya pihak ketiga dapat merasa malu, terasingkan dari orang sekitar, atau bahkan dirundung oleh pihak-pihak yang bahkan tidak terkait langsung dengan hubungan perselingkuhan itu,†pungkas Tita.
Sumber: Tempo