Eddi Elison
Pengamat Sepak Bola Nasional
Mungkin ada yang beranggapan mundurnya Edy Rahmayadi (ER) sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada saat berlangsungnya kongres tahunan PSSI di Bali, Ahad lalu, sebagai hal yang mengejutkan. Maklum, sebelumnya, bekas Panglima Komando Strategi Angkatan Darat itu berdalih menolak mundur meski dituntut sejumlah pihak dalam komunitas sepak bola karena kegagalan tim nasional senior dalam Piala AFF.
Namun mundurnya Edy tersebut sama sekali bukanlah hal yang mengejutkan. Ada banyak hal yang mendahului hal itu. Dimulai ketika Edy terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara dan terjadinya bentrokan antar-suporter klub yang merenggut nyawa. Disusul dengan terbongkarnya skandal pengaturan skor yang melibatkan dua anggota Executive Committee PSSI. Tersisihnya tim garuda di babak pertama Piala AFF dan tidak kembalinya pelatih tim nasional Luiz Milla menambah lagi alasan tersebut. Semua itu membuat kita yakin bahwa Edy hanya menunggu waktu terbaik untuk menyatakan mundur.
Argumentasi yang paling mendesak sebenarnya adalah ketiadaan waktu Edy untuk dapat mengurus masalah persepakbolaan yang menumpuk. Hal itu bersamaan dengan menggunungnya persoalan dari berbagai sektor di Sumatera Utara. Apalagi Edy berdomisili di Medan, sedangkan kantor pusat PSSI di Jakarta. Pilihan Edy untuk mundur di kongres memang waktu yang tepat, mengingat dia terpilih juga melalui kongres luar biasa (KLB).
Dalam sejarah PSSI, Edy menjadi orang keempat yang mengundurkan diri setelah Ali Sadikin, Sjarnoebi Said, dan Azwar Anas, dari I5 orang yang pernah terpilih sebagai Ketua Umum PSSI. Bang Alibegitu sapaan Ali Sadikinmengundurkan diri secara diam-diam hanya beberapa bulan sebelum masa kepengurusannya selesai akibat "rongrongan" internal setelah keterlibatannya dalam Petisi 50, kelompok penentang kebijakan pemerintah Presiden Soeharto.
Sjarnoebi mundur akibat kegagalan tim nasional ditambah kondisi persepakbolaan nasional yang tak memungkinkan berprestasi terbaik setelah kompetisi Galatama kehilangan marwah karena "jual-beli" gol. Azwar mundur setelah tim nasional bermain "sepak bola gajah" di Vietnam pada I998 dalam Tiger Cup. Sedangkan yang terpaksa dimundurkan adalah La Nyalla Mattalitti.
Edy seharusnya menjalankan tugas sebagai Ketua Umum PSSI dari 10 November 2016 hingga 20 Januari 2019. Mundurnya Edy pada Ahad lalu membuat masa kepengurusannya masih menyisakan waktu satu tahun sepuluh bulan. Mengingat masa waktu yang tersisa tersebut, seharusnya Kongres Bali sudah dapat memutuskan kapan KLB PSSI digelar untuk memilih ketua umum baru, sebagaimana dituntut demonstran pada waktu kongres. Apalagi banyak pihak yang menghendaki sebaiknya, selain Edy, seluruh pengurus juga mundur.
Setelah Edy mundur, PSSI kini ditangani penjabat Ketua Umum Joko Driyono alias Jokdri, tokoh yang puluhan tahun telah bergelut dalam persepakbolaan nasional, sejak era Galatama pada 1980-an sebagai Manajer Klub Pelita Krakatau Steel. Cukup banyak jabatan yang pernah dipegangnya, termasuk Sekretaris Jenderal PSSI dan pemimpin kompetisi.
Joko Driyono tentu punya visi, kemampuan, dan mendalami ketentuan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) untuk mengelola persepakbolaan nasional. Apalagi sekarang ia juga menjabat Wakil Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Yang diragukan adalah kemurnian integritasnya terhadap dunia sepak bola nasional, mengingat "kedekatannya" dengan Nirwan D. Bakrie dan Nurdin Halid.
Maka, kita bisa mengerti mengapa Kongres Bali belum berani menentukan kapan dilaksanakannya KLB, terutama karena gejolak politik menjelang pemilihan umum 17 April mendatang dan akan digelarnya Kompetisi Liga 1, yang diperkirakan dilangsungkan pada April juga.
Semoga keguncangan dalam persepakbolaan nasional ini tidak terjadi lagi. Tapi, bukan mustahil, jika tim nasional tahun ini kalah di SEA Games Filipina dan U-I9 gagal di Piala AFF, ditambah kian merebaknya "pengaturan skor" yang sedang ditangani Satuan Tugas Anti-Mafia Bola, hal itu tentu akan mengundang reaksi keras dari masyarakat bola.
Sumber: Tempo