SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah akan menerapkan cukai untuk produk hasil pengolahan tembakau (HPTL) seperti e-cigarette dan cairan rokok elektrik atau vape mulai 1 Juli 2018. Tarif yang dipatok sebesar 57 persen dari harga jual.
Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai, Sunaryo, mengatakan pemerintah kini tengah menyelesaikan aturan teknis dari kebijakan ini. Bentuknya berupa Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai. Beleid ini turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau dan berlaku bagi semua produk HPTL, baik domestik ataupun impor.
"Peraturan Dirjennya sekarang tinggal diserahkan ke bagian drafting," kata Sunaryo di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 27 Januari 2018. Beleid itu nantinya akan mengatur tata cara pemungutan, kejelasan administrasi, formulir, serta mekanisme pembayaran cukai.
Sunaryo mengatakan rokok elektrik dikenakan cukai karena termasuk produk hasil pengolahan tembakau. Barang yang dikenakan cukai merupakan cairan rokok dan ekstrak padat dari hasil tembakau. Barang yang sudah membayar cukai akan dikenakan pita sebagai penanda.
Selain cukai, cairan rokok elektrik juga akan dikenakan bea masuk. Menurut Sunaryo, sebanyak 60 persen cairan vape yang beredar di Indonesia berasal dari luar negeri.
Pengenaan cukai untuk produk ini dikritik sejumlah pihak. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai aturan pengenaan cukai untuk cairan rokok elektrik atau vape terlalu terburu-buru. Dia mengatakan industri vape saat ini masih baru dan kecil sehingga tak akan menyumbang penerimaan yang besar. Dengan asumsi pengguna vape sebanyak satu juta orang dan harga cairan rokok senilai Rp 100 ribu, pemerintah hanya dapat pemasukan Rp 57 miliar dari tarif 57 persen.
Jumlah tersebut dinilai kecil jika dibandingkan dengan barang lain yang lebih berbahaya bagi kesehatan dan berpotensi dikenakan cukai. Salah satunya adalah asap dari kendaraan bermotor. Cukai kendaraan bermotor, baik roda dua dan empat, sebesar 5 persen saja berpotensi menghasilkan penerimaan sebesar Rp 6 triliun. Bhima mengatakan cukai plastik juga bisa menyumbang penerimaan yang lebih besar. Dengan tarif 5 persen saja, barang itu bisa menghasilkan Rp 254 miliar.
Indef juga mengkaji potensi penerimaan jika minuman berpemanis dikenakan cukai. Minuman itu dapat memicu diabetes, penyakit paling mematikan ketiga di Indonesia. Hasilnya, ada potensi penerimaan sebesar Rp 470 miliar per tahun dengan tarif cukai sebesar 5 persen.
Berdasarkan kajian tersebut, Bhima menyarankan pemerintah melakukan ekstensifikasi cukai. "Jika ingin mencari penerimaan dari cukai, pemerintah diharapkan lebih kreatif untuk ekstensifikasi cukai. Banyak yang lebih bahaya," ujarnya.
Dari sisi pengendalian, Bhima meminta pemerintah mengkaji ulang penerapan cukai untuk rokok elektronik. Dengan tarif yang tinggi, dia khawatir akan tumbuh industri rokok elektrik ilegal seperti yang pernah terjadi saat tarif cukai rokok dipatok tinggi.
Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menyatakan penetapan tarif cukai untuk cairan rokok elektrik atau vape yang dipatok 57 persen terlalu tinggi. Ketua Bidang Legal dan Business Development APVI, Dendy Dwiputra, mengatakan usaha di bidang rokok elektrik belum sebesar rokok tembakau. Usaha yang berkembang masih berkategori mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Usaha yang berkembang salah satunya adalah produksi cairan vape. Dendy menuturkan, cairan vape yang beredar kini didominasi produk lokal. Hanya sekitar 40 persen cairan vape yang diimpor. Padahal sebelumnya mayoritas cairan itu berasal dari luar negeri.
Dendy berharap pemerintah bersedia mempertimbangkan kembali tarif cukai tersebut. Terlebih lagi, cukai itu belum termasuk bea masuk cairan vape.
Sumber: Tempo