SUKABUMIUPDATE.com - Ada sejumlah tantangan untuk pemain startup, yang ada di Indonesia, sehingga sukses seperti jauh dari jangkauan. "Secara umum ada dua kemungkinan, tak kunjung meraih keuntungan (profit) atau tak mengalami perluasan (scaling)," kata  Editor in Chief Tech in Asia Indonesia, Pradipta Nugrahanto di Auditorium Gojek, Blok M, Jakarta, pada Kamis, 30 November 2017.
Dalam program akselerasi Demo Day Remake City Jakarta 2017 itu, Pradipta, mengambil contoh kasus tutupnya startup yang tutup sebelum sempat berkembang.
Foodpanda, perusahaan startup jasa antar makanan berbasis web dan aplikasi yang hadir di Indonesia sejak Mei 2013, resmi menutup layanannya pada Oktober 2016. Pradipta mengatakan perusahaan ini tak bertahan di Indonesia karena terlalu banyak tenaga pengantar dan tak mempu bersaing dengan startup sejenis.
Foodpanda sebelumnya juga menutup layanannya di Vietnam pada 2015. Penutupan layanan dilakukan dalam bentuk penutupan situs dan aplikasi mobile, pemutusan kerja sama dengan semua mitra restoran, dan pemutusan perjanjian dengan semua mitra pemasaran.
Startup layanan asisten pribadi virtual, Halodiana juga mengehentikan layanannya pada April 2016, tujuh bulan setelah peluncurannya pada awal September 2015. Sedangkan, aplikasi sejenis bernama yessboss menghentikan layanan sejak Oktober 2016. Pradipta berujar, kegagalan terjadi karena perusahaan tak kunjung menggantikan tenaga manusia dengan teknologi mesin.
Dampak dari perubahan tren juga membawa Shopius pada kegagalan. Bermula mengusung konsep marketplace fashion customer-to-customer (C2C) pada 2013, perusahaan ini memilih pivot sebagai agregator toko fesyen di media sosial Instagram pada 2014. Dua tahun setelahnya, pada April 2016 Shopius gulung tikar. “Biaya akuisisi yang tinggi dan tak mampu bersaing," kata Pradipta.
Menurut Pradipta, pendanaan besar pun tak menjamin keberhasilan startup untuk bertahan di pasar Indonesia. Zeemi, platform untuk menikmati konten video siaran langsung menghentikan layanannya sejak Oktober 2016. Sempat mendapat suntikan dana awal sebesar US$ 1 miliar pada 2015, startup ini gulung tikar. Pradipta dalam hal ini mengatakan bahwa perusahaan gagal fokus terhadap produknya.
Peran dan fokus pengembangan aplikasi dari founder dalam setiap perusahaan juga dinilai sangat penting bagi Pradipta. Wavoo, startup berbentuk aplikasi kencan yang didirikan pada 2014 ditinggal oleh dua pendiri utamanya.
Menanggapi sejumlah tantangan bagi startup, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ricky Josep Pesik mengatakan regulasi atau kebijakan dari pemerintah harus adaptif. "Bisa saja dalam 3 bulan ke depan, kebijakan sudah tak sesuai dengan perkembangan teknologi," kata dia.
Terkait itu, Ricky mengatakan, "Masa depan ekonomi dan inovasi menunggu regulasi baru."
Selain regulasi yang adaptif, Vice President Gocar dan Program Swadaya GO-JEK, Ardelia Apti mengatakan perusahaan startup harus merangkul banyak komunitas dan menawarkan solusi pada permasalahan yang dominan pada masyarakat. " Kembangkan inovasi apapun yang memberikan solusi," ujarnya. Â
Sumber: Tempo