SUKABUMIUPDATE.com - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan langkah pemerintah menaikkan cukai rokok 10,04 persen merupakan langkah mundur. Keputusan yang akan berlaku pada 1 Januari 2018 itu, menurut Tulus, seharusnya bersifat progresif.
"Sebab pada 2016, kenaikan cukai rokok mencapai 11,19 persen. Seharusnya setiap kenaikan cukai bersifat progresif, sehingga mencapai angka minimal, yakni 57 persen, sebagaimana amanat UU tentang Cukai," kata Tulus abadi dalam siaran tertulis YLKI, Kamis, 26 Oktober 2017.
Tulus menilai rendahnya persentase kenaikan cukai rokok tersebut mencerminkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih sangat konservatif dalam mengambil kebijakan terkait dengan kenaikan cukai rokok. "Kenapa konservatif? Karena seharusnya dengan kenaikan yang lebih tinggi, pemerintah dapat menggali pendapatan dari sektor cukai yang lebih besar," kata Tulus Abadi.
"Seharusnya Menkeu memahami hal ini mengingat defisitnya APBN, akibat target pendapatan pajak yang selalu jeblok," kata Tulus Abadi.
Menurut Tulus, kenaikan cukai yang tinggi juga bisa menjadi instrumen pengendalian konsumsi rokok. Sebab cukai adalah sin tax, alias pajak dosa.
"Ingat, saat ini, menurut data BPJS, mayoritas penyakit yang diderita pasien BPJS adalah penyakit degeneratif, yang salah satu pemicunya adalah konsumsi rokok," ujar Tulus.
Ia mengatakan pantas saja tiap tahun finansial BPJS mengalami bleeding. Pada 2016, defisitnya mencapai Rp 9 triliun, dan pada 2017, diprediksi mencapai Rp 12 triliun.
"Rendahnya kenaikan cukai rokok oleh Kemenkeu akan mengakibatkan prevalensi merokok semakin tinggi, karena harga rokok masih sangat terjangkau baik oleh rumah tangga miskin dan atau anak-anak dan remaja," kata Tulus.
Tulus melihat kenaikan cukai rokok 10,04 persen hanya berdampak terhadap kenaikan rokok Rp 30-50 per batang. "Apalah artinya kenaikan sebesar itu karena toh rokok masih bisa dibeli secara ketengan," ujar Tulus.
Dalam konteks ini, menurut Tulus, Menkeu gagal memahami cukai sebagai "pajak dosa", sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok. "Atas rendahnya kenaikan cukai rokok itu, patut diduga Menkeu terlalu dominan mendengarkan suara industri rokok. Menkeu tidak independen dan tidak netral atas intervensi oleh industri rokok," kata Tulus Abadi.
Menurut Tulus, hal tersebut juga mengabaikan aspirasi atau masukan dari masyarakat yang mendorong pengendalian konsumsi rokok.
"Imbauan Presiden agar petani mengurangi bertanam tembakau akibat dampak kenaikan cukai, juga hal yang tidak relevan. Kenaikan cukai 10,04 persen tidak berdampak apa pun terhadap petani tembakau.â€
Tulus menilai nasib petani tembakau justru digerus oleh perilaku industri rokok yang seenaknya menentukan harga dan kualitas daun tembakau milik petani.
Sumber: Tempo