SUKABUMIUPDATE.com - Beras premium yang dihargai Rp 20 ribu per kilogram, seperti produksi PT Indo Beras Unggul (PT IBU) beras Cap Ayam Jago dan beras Beras Maknyuss, dinilai masih wajar.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia Roy Nicholas Mandey, harga kemasan di tingkat peritail memang digunakan khusus untuk jenis premium. Sedangkan beras yang didistribusikan oleh Bulog dengan harga rendah merupakan harga di tingkat menengah ke bawah dengan harga lebih murah.Â
"Harga komoditi itu adalah jenis medium dan premium atau kualitas kemasan yang ada di ritel modern. Jadi memang sudah berbeda,†tutur Roy Nicholas Mandey usai menggelar Rapat Dengar Pendapat di Kantor Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta Pusat, Selasa (25/7/2017).
Roy menerangkan, jika dari pemerintah menemukan adanya dugaan ketidakwajaran dalam penentuan harga, pihak Aprindo siap untuk mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, yakni akan mengkoordinasikan seluruh toko anggotanya tidak serta menarik produk yang telah beredar agar stok beras premium tetap tersedia.
“Kami selalu melaporkan ke satgas bahwa memang belum bisa ditindak atau dianggap pelanggaran kalau toko kami masih jual," ucap Roy. "Karena sekarang masih proses apakah akan ditarik atau masih dijual sementara waktu, sampai keputusan harga acuan atau HET."
Aprindo juga bersedia untuk mengikuti mekanisme penetapan harga yang ada. Karena harga Rp 20 ribu itu diperoleh peritel dari distributor serta hulu. Sedangkan peritel adalah hilir atau sebagai perantara langsung ke tangan konsumen. Maka Aprindo akan bersama dengan KPPU mencari jalan keluar yang bak bagi petani, produsen, distributor, peretail, hingga pengguna. “Kalau bicara soal harga, itu bicara soal rantai distribusi. Apalagi tipe gabah dan beras macam-macam (seperti beras premium )," kata dia.
Menurut Roy, harga beli dari petani juga tertentu sehingga kalau tidak dikontrol di hulu dan perantara bagaimana hilir bisa mengikuti. "Ini bicara mekanisme pasar," ucap Roy menerangkan terkait dengan kasus beras Maknyuss.
Sumber: Tempo