SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Beleid tersebut diperlukan untuk memenuhi persyaratan penerapan automatic exchange of information (AEoI) pada September 2018.
Negara yang sepakat mengimplementasikan AEoI wajib menyediakan legislasi domestik setingkat undang-undang (primer) dan turunannya (sekunder). Aturan tersebut harus dipenuhi paling lambat pada (30/7/2017). "Negara yang belum memiliki kerangka hukum tersebut akan dikategorikan menjadi negara yang gagal memenuhi komitmen," ujarnya, Senin (17/7/2017).
Sri Mulyani mengatakan kegagalan mengambil langkah cepat dan tepat untuk menerbitkan legislasi primer akan merugikan Indonesia. Indonesia bisa dikategorikan sebagai non-cooperative jurisdiction.
Dampaknya, dunia internasional akan menilai Indonesia tidak berada di level yang sama dengan negara yang telah memenuhi komitmen AEoI. "Indonesia akan dicap sebagai negara yang tidak transparan, tempat pencucian uang, dan tujuan penyimpanan pendanaan terorisme."
Menurut Sri Mulyani, sebelum Perpu Nomor 1 Tahun 2017 diundang-undangkan Presiden pada 8 Mei, Indonesia belum memiliki legislasi primer yang memuat kewajiban lembaga keuangan mengumpulkan dan melaporkan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ruang gerak Ditjen Pajak selama ini terbatas untuk mengakses informasi keuangan. Gerakan tersebut terbatas oleh beberapa aturan, salah satunya adalah Undang-Undang Perbankan.
Kondisi tersebut, kata dia, dimanfaatkan wajib pajak untuk tidak melaporkan penghasilan dan harta dengan kondisi sesungguhnya. Wajib pajak berasumsi tindakannya tidak akan diketahui Ditjen Pajak. Dampaknya, jumlah penerimaan negara dari pajak menurun.
Dalam APBN 2016, misalnya, penerimaan pajak dianggarkan sebesar 86 persen dari total pendapatan negara. Tapi realisasinya hanya mencapai 83,5 persen. "Itu pun sudah menghitung hasil amnesti pajak," kata Sri Mulyani. Tanpa pendapatan dari program pengampunan itu, realisasinya hanya 75 persen.
Dia mengatakan keterbatasan akses informasi keuangan juga memberikan kontribusi terhadap rendahnya rasio pajak. Beberapa tahun terakhir ini rasio pajak Indonesia cenderung menurun di samping kondisi perekonomian yang juga menurun.
Sebelumnya, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, John Hutagaol, mengatakan Indonesia tidak perlu membuat perjanjian bilateral atau Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA) dengan Singapura dalam kerangka kerja sama AEoI.
"Karena Singapura sudah menandatangani MCAA (Multilateral Competent Authority Agreement) pada (21/6/2017). di Belanda, kami tidak perlu lagi BCAA dengan mereka," ujarnya. Sebelumnya, Indonesia telah menandatangani MCAA yang sama dengan Singapura.
Berbeda dengan Hong Kong, menurut John, Indonesia perlu menandatangani BCAA karena bekas koloni Inggris itu tidak menandatangani MCAA. "Karena itu, untuk bertukar data pajak dengan Hong Kong, kami harus melakukan BCAA dengan mereka."Â
Sumber: Tempo