SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah meminta Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Komisi XI mengajukan beragam pertanyaan sebelum memberikan suara.
Anggota Komisi XI, Andreas Eddy Susetyo, menyatakan sangat mendukung upaya pemerintah mencegah penghindaran pajak. Namun dia mempertanyakan waktu pengajuan permintaan persetujuan Perpu. "Kenapa baru diajukan menjelang batas waktu?" kata dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, (17/7/2017).
Eddy menyebutkan, Indonesia harus membuat legislasi setara undang-undang paling lambat (30/6/2017). Peraturan tersebut diundangkan Presiden pada (8/3/2017).
Selain itu, komitmen Indonesia terkait dengan transparansi perpajakan sudah dimulai sejak 2010. Amerika saat itu menerbitkan kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Kebijakan tersebut mengharuskan semua lembaga keuangan asing menyerahkan informasi tentang nasabah mereka yang merupakan warga negara Amerika ke Internal Revenue Service (IRS).Â
Negara-negara G20 kemudian sepakat bahwa kebijakan tersebut seharusnya tidak diterapkan unilateral tapi juga secara global. Mereka berharap praktek penghindaran pajak dengan cara menempatkan aset keuangan di lembaga keuangan yang memiliki perlindungan kerahasiaan ketat bisa teratasi.
Mereka kemudian meneken Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC). Negara G20 terikat untuk melakukan pertukaran informasi sesuai standar internasional, termasuk Automatic Exchange of Financial Information (AEoI) yang diatur dalam Pasal 6 MAC.
Tiga tahun kemudian, tepatnya 15-16 November 2014, Indonesia bersama negara G20 di Brisbane Summit sepakat mengimplementasikan AEoI secara resiprokal berdasarkan Common Reporting Standard (CRS). Dalam kesepakatan tersebut implementasi ditetapkan mulai 2017 atau 2018. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk penandatanganan Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) sebagai kerangka hukum multilateral penerapan AEoI.
Mendengar urutan di atas, anggota Komisi XI, Prakoso, menyatakan pemerintah melakukan hal yang janggal. Meski tahu akan ada keterbukaan informasi pada 2018, pemerintah memutuskan menggelar program amnesti pajak. "Ini kan logika terbalik. Kalau sudah tahu ada AEoI pada 2018, kepana ada tax amnesty?" katanya.
Hal lain yang disoroti adalah perubahan jumlah saldo rekening yang harus dilaporkan. Berdasarkan ketentuan Common Report Standar (CRS), perbankan wajib melaporkan rekening dengan saldo minimal USD 250 ribu atau setara Rp 3,3 miliar dengan kurs Rp 13.300. Pemerintah kemudian mengubah jumlahnya menjadi Rp 1 miliar. "Ini perlu dijelaskan alasannya secara gamblang," kata Andreas. Pertanyaan yang sama juga diajukan Kardaya.
Anggota lainnya, Misbakhun, menyatakan masih ada masalah dengan konten Perpu. Dia meminta pemerintah memberikan penjelasan mendetil agar aturan yang akan disetujui tidak menimbulkan multi tafsir. "Saya takut akan ada judicial review entah di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi," katanya.
Anggota lainnya, Muhammad Sarmuji, bertanya mengenai peran Perppu terhadap penerimaan pajak. "Apa ada jaminan tax ratio tidak akan rendah lagi?" Dia mengatakan Perpu harus memberikan efek yang besar jika dijadikan undang-undang.
Sementara itu Ketua Komisi XI Melchias Mekeng mengomentari kekuasaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) setelah UU Keterbukaan Informasi disahkan. DJP akan memiliki kekuatan yang sangat besar. "Jangan sampai nanti DJP berubah seperti KPK. Itu yang harus kita hati-hati," katanya.Â
Mekeng juga meminta penjelasan mengenai kesetaraan fiskus dan wajib pajak. Pasalnya, selama ini ada banyak tunggakan pajak yang belum tertagih DJP. Jumlahnya, menurut dia, mencapai Rp 55 triliun. "Saya dengar sekarang bahkan sudah hampir Rp 100 triliun."
Mekeng menambahkan pemerintah enggan membuka informasi mengenai tunggakan tersebut. Di sisi lain, pemerintah ingin membuka data wajib pajak yang menunggak. "Jangan hanya mau buka wajib pajak," katanya.
 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan memberikan jawaban tertulis kepada Komisi XI atas pertanyaan tersebut. Jawaban akan diserahkan Rabu, (19/7/2017).Â
Sumber: Tempo