SUKABUMIUPDATE.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merevisi datanya soal impor gas pada tahun 2019. Pada tahun tersebut, pasokan gas nasional bakal berlebih sehingga impor gas tidak perlu dilakukan.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi I Gusti Nyoman Wiratmaja mengemukakan perubahan perkiraan terjadi karena proyek gas laut dalam (Indonesia deepwater development/IDD) Jangkrik yang dikelola Eni Muara Bakau B.V, kontraktor asal Italia, beroperasi lebih cepat. Perusahaan juga sepakat menambah produksi gas dari sekitar 450 juta menjadi 600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
"Kemungkinan tidak impor, dengan berhasilnya Eni yang di Jangkrik, kan maju jadwal produksinya. awalnya didesain 450 MMSCFD bisa ternyata sampai 600 MMSCFD," ujar Wiratmaja di Jakarta, kemarin, Rabu, 12 Juli 2017.
Eni berencana memakai fasilitas Jangkrik untuk menjadi penghubung gas yang disedot dari Lapangan Merakes, Blok East Sepinggan, di Selat Makassar, ke Kilang Bontang di Kalimantan Timur. Perusahaan menyelesaikan fasilitas pengolahan gas terapung (floating processing unit/FPU) jangkrik pada akhir Maret lalu.
Deputi Pengadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto mengatakan penambahan produksi proyek Jangkrik masih dalam proses uji coba. Kapasitas penyedotan gas belum bisa bertambah lantaran pipa penyalurnya belum siap. Penyaluran gas ini dilakukan Eni bersama Total E&P Indonesie melalui kerja sama pemanfaatan fasilitas. "Ini lagi negosiasi dengan Total untuk menambah kapasitas pakai pipanya. Kalau sudah deal, baru nambah," kata Djoko.Â
Pasokan gas yang surplus juga disebabkan oleh revisi target megaproyek listrik 35 ribu Megawatt (MW) pada 2019 mendatang menjadi hanya 25 ribu MW. Akibatnya, jadwal operasi sebagian pembangkit gas tertunda. Keadaan ini juga memaksa pemerintah merevisi neraca gas nasional hingga 2025 mendatang. Pasalnya, pembangkit listrik adalah pengguna gas domestik terbesar.Â
"Kami berharap pembangkit gas yang dibangun PLN bisa segera berjalan," tutur Wiratmaja.
Tahun ini, Kementerian Energi melaporkan pasokan 18 dari 60 kargo gas alam cair (liquified natural gas/LNG) domestik belum memiliki pembeli. Wiratmaja mengatakan pihaknya akan terus menawarkan kargo tersisa kepada pembeli hingga akhir tahun. Jika belum ada permintaan, pemerintah bakal menjualnya ke pasar spot yang harganya lebih murah.
Pasokan ini juga akan terus bertambah pada 2020 ketika kilang Baru Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat (Tangguh Train III), mulai berproduksi. Kilang yang dikelola BP Berau Ltd. ini bakal menghasilkan LNG hingga 3,8 juta ton per tahun. Tambahan lainnya berasal dari Lapangan Abadi, Blok Masela, yang dijadwalkan menghasilkan gas hingga 10,5 juta ton per tahun. Saat ini, kontraktor Blok, Inpex, tengah menyusun rencana pengembangan.
Stok LNG yang menganggur berisiko bertambah jika kesepakatan gas antara kontraktor dengan pembeli gagal berlanjut ke tahap kontrak. Contoh kasusnya terjadi pada kesepakatan PT PLN (Persero) dengan BP Berau untuk memasok gas sebesar 20 kargo LNG per tahun hingga 25 tahun ke depan. Hingga kini, perjanjian jual beli gas tidak kunjung diteken kedua pihak. "Kalau sesuai rencana, konsumsi gas akan naik," kata Wiratmaja.
Â
Sumber: Tempo