SUKABUMIUPDATE.com - Indonesia mengincar target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,4 persen -6,1 persen pada 2018 menyusul tren perbaikan kondisi dalam negeri dan luar negeri yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia dan perbaikan volume perdagangan.
Target pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah acuan dalam Rancangan Rencana Kerja Pemerintah 2018 yang dipaparkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam RKP Badan Anggaran DPR pada (6/6).
Meski demikian, perekonomian dunia pada tahun depan masih menghadapi sejumlah risiko. Antara lain normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, efek kebijakan Trump, proteksionisme, kenaikan harga komoditas yang lamban dan terbatas, penurunan produktivitas di negara maju, pengetatan kebijakan makro ekonomi yang diterapkan Cina, dan ancaman terorisme serta gejolak geopolitik.
Dalam dokumen Rancangan RKP 2018 itu, selain pertumbuhan produk domestik bruto, pemerintah juga mengincar inflasi di kisaran 2,5 persen -4,5 persen, nilai tukar rupiah Rp 13.500 - Rp13.800 per dolar AS, harga minyak USD 45-USD v60 per barel, lifting minyak mentah 771.000 - 815.000 barel per hari, lifting gas bumi 1,194 juta - 1,235 juta barel per hari.
Beberapa waktu lalu, Menteri PPN/Kepala Bappenas mengatakan jika Indonesia ingin pertumbuhan ekonominya mencapai minimal 5,6 persen maka industri manufaktur harus tumbuh di atas 6 persen. Untuk terus mengenjot pertumbuhan manufaktur, Kementerian PPN / Bappenas memetakan empat kategori yang harus diberikan perhatian khusus. Pertama, industri yang memiliki skala ekonomi yang cukup besar contohnya makanan minuman, otomotif dan consumer goods.
Bambang mencontohkan Cina dapat mengembangkan sektor manufakturnya secara masif karena negara tersebut fokus pada industri yang memiliki skala ekonomi besar. Dengan skala ekonomi yang besar, maka biaya produksi produk apapun yang dibuat China menjadi lebih rendah. "Kita harus mengikuti hal tersebut. Kategori pertama kita fokus kepada sektor yang sudah memiliki skala ekonomi yang cukup besar," tegasnya.
Kedua, industri berbasis pengolahan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, misalnya produk turunan kepala sawit, karet dan hasil tambang. Ketiga, industri padat karya seperti tekstil, garmen dan alas kaki. Namun, dia menuturkan industri padat karya atau labour intensive harus masuk ke pasar yang lebih spesifik atau niche market untuk bisa bertahan.
"Jadi tidak bisa lagi kita mengandalkan tekstil dan garmen ala 90-an karena sekarang industri ini banyak pesaingnya dan mereka punya upah buruh yang lebih murah atau buruh yang mudah diatur," ucap Bambang. Keempat, Indonesia akan fokus pada industri manufaktur yang mempunyai orientasi ekspor (export-oriented industry).
Sumber: Tempo