SUKABUMIUPDATE.com -Â Â Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kesenjangan indeks pembangunan manusia (IPM) antar-provinsi dan kabupaten masih terjadi sepanjang 2016. Kondisi tersebut terlihat dari sisi angka harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup layak yang tergambarkan melalui pengeluaran per kapita per tahun.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan disparitas IPM antar-daerah cukup tinggi dan variatif. Terdapat 12 provinsi memiliki IPM kategori tinggi, 21 provinsi kategori sedang, dan 1 provinsi kategori rendah.
DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta menempati posisi tertinggi, sedangkan IPM terendah berada di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
"Progres IPM dari tahun ke tahun bagus. Tapi ada pekerjaan rumah besar, yaitu bagaimana menggerakkan Papua dan provinsi lain di Indonesia timur supaya bisa memperbaiki ketertinggalannya dari provinsi di Indonesia barat," kata Suhariyanto, Senin (17/4).
Berdasarkan standar penilaian United Nations Development Program (UNDP), nilai indeks pembangunan di bawah 60 masuk kategori rendah, 60-70 kategori sedang, serta 70-80 kategori tinggi.
Pada 2016, IPM Indonesia meningkat 0,91 persen menjadi 70,18 persen atau berkategori tinggi. "Naik dari sedang ke tinggi, masih batas bawah," ujar Suhariyanto.
Hasil pembangunan terlihat dari komponen peluang hidup bayi hingga 70,9 tahun, peluang bersekolah hingga 12,7 tahun dengan lama sekolah rata-rata 7,95 tahun, serta peningkatan pengeluaran per kapita hingga Rp 10,42 juta rupiah per tahun. "Kenaikan daya beli masih bagus, ada kenaikan dari tahun ke tahun."
Berdasarkan wilayahnya, kemajuan pembangunan manusia paling cepat secara berurutan yaitu di Papua, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur. Menurut Suhariyanto, daerah de-ngan indeks rendah paling mudah mengalami percepatan dibanding daerah dengan indeks tinggi. Kemajuan di Papua terdorong oleh peningkatan mutu pendidikan.
Kendati demikian, ke-senjangan pembangunan manusia antar-kabupa-ten masih terjadi di sana. Perbedaan standar hidup di Kota Jayapura dan Kabupaten Nduga, misalnya, cukup besar.
Sebelumnya, BPS juga mencatat adanya kesenjangan pendapatan per kapita antar-daerah. Pendapatan per kapita masyarakat pada 2016 mencapai Rp 47,9 juta per tahun. Artinya, rata-rata pendapatan pekerja per bulan sekitar Rp 4 juta.
Sementara itu, tingkat ketimpangan (rasio Gini) nasional pada September 2016 menurun. Rasio Gini secara nasional, perkotaan, dan pedesaan masing-masing sebesar 0,39 persen, 0,4 persen, dan 0,31 persen. BPS berpandangan penurunan ketimpangan disebabkan oleh semakin besarnya belanja kelompok penduduk kelas bawah, sehingga gap dengan kelas menengah menyempit.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan sebagian besar kebijakan pemba-ngunan masih terpusat di Jawa. Pemerintah menghadapi tantangan besar untuk membangun perekonomian dari pinggir lantaran membutuhkan jangka waktu yang panjang agar berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
"Secara politik, kalau menggelontorkan uang Rp 100 triliun sama-sama, efeknya lebih besar ke Jawa," ujar Eko. "Di pinggir, baru lima tahun nanti terlihat." Menurut dia, semakin besar kesenjangan terjadi, semakin kuat pula potensi konflik politik.
Â
Sumber: Tempo