SUKABUMIUPDATE.com - Â Pemilik perusahaan transportasi berbasis aplikasi diminta mematuhi revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek dan tidak perlu meminta perpanjangan waktu uji coba.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno,Â
mengatakan pemerintah dan pelaku aplikasi bisa mencontoh Taksi Kosti, yang dikelola para sopir dan merupakan koperasi taksi milik sopir. “Negara wajib melindungi pengusaha yang ada dan warga yang akan menggunakannya,†kata Djoko kepada Bisnis melalui pernyataan singkat pada Minggu (19/3).
Menurut Djoko, permintaan pengelola transportasi online agar ada jalur khusus saat KIR agak berlebihan. Semua kendaraan yang di-KIR juga harus ikut antre. Artinya, sekarang jumlah kendaraan online jumlahnya tidak terhingga. Jika ada pool, KIR tetap dilakukan enam bulan sekali, sehingga setiap saat akan beroperasi, kendaraan diperiksa terlebih dahulu.
“Jangan sampai KIR dianggap sumber pendapatan daerah. KIR adalah upaya melihat kelaikan kendaraan, apakah masih dapat beroperasi dengan baik atau tidak, agar jika membawa penumpang, kendaraan dijamin aman," ucap Djoko.
Selain itu, menurut Djoko, pembatasan kuota penting agar tidak oversupply, yang berujung keburukan pelayanan, rebutan penumpang, dan saling banting tarif. Jika dibebaskan, keadaan tersebut tidak mendukung keberadaan transportasi umum yang sedang proses pembenahan dan cenderung menambah kendaraan pribadi.
“Transportasi online menginginkan sebanyak mungkin kendaraan ikut programnya, tapi tidak memikirkan keberlanjutannya. Bagaimana jika yang ikut transportasi online adalah mobil cicilan yang setiap bulan wajib mengangsur?"
Untuk mendapatkan kuota adalah dimulai dengan kajian kebutuhan demand. Jika supply melebihi demand, tentunya akan berakhir dengan kerugian. Harus ada keseimbangan supply dan demand. Perusahaan aplikasi tidak menanggung itu, karena mereka tidak investasi kendaraan, beda dengan taksi resmi.
Jika selama ini ada permainan dalam hal kuota, hal itu harus diubah. Bentuk institusi,Â
yang terdiri atas unsur pemerintah, anggota dewan, lembaga konsumen, akademikus, dan praktisi bisnis transportasi, yang akan membantu itu.
Djoko menilai, tarif batas atas bertujuan melindungi konsumen. Sedangkan tarifÂ
batas bawah agar bisnis transportasi tersebut tetap terjaga keberlangsungannya.
“Tarif untuk semua taksi dapat dilakukan berdasarkan jarak yang ditempuh seakurat mungkin. Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi sekarang ini, hal itu mudah dilakukan sejak awal pemesanan. Asal ada niat dan biaya, pasti bisa,†kata Djoko.
Â
Sumber: Tempo