SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah menghentikan sementara impor daging kerbau dari India setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi UU No. 41/2014. Putusan itu memperketat impor dari negara yang belum terbebas penyakit kuku dan mulut.
Selain itu, pemerintah menegaskan tidak akan merevisi regulasi turunan dari UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian uji materi undang-undang tersebut.
Dalam putusan MK, impor hewan ternak dari zona di negara yang belum terbebas penyakit mulut dan kuku makin diperketat dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu seperti dalam kondisi darurat. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengatakan, setelah keluar putusan MK, pemerintah menghentikan sementara impor daging kerbau dari India.
Namun, regulasi turunan dari UU No. 41 itu tidak akan direvisi. “Itu sudah firm, sudah memuat maximum security,†katanya, Rabu 8 Februari 2017.
Peraturan pemerintah dan dan Permentan itu, katanya, telah mengatur tentang keamanan yang maksimal seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi UU No. 41/2014. Kehati-hatian dalam impor daging dari negara yang belum terbebas dari penyakit dilakukan dari hulu hingga hilir yang diawasi oleh Badan Karantina Pertanian dan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Ketentuan pengamanan maksimal juga telah diterapkan pada impor daging kerbau asal India. Ketut memandang, putusan MK memungkinkan skema berbasis zona dalam hal tertentu seperti bencana alam dan kurangnya pasokan daging karena produk lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional.
Keadaan pasokan daging yang kurang, lanjutnya, diputuskan dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) tiga menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian. Dalam rapat tersebut, pemerintah menghitung stok dan kebutuhan daging nasional.
Hasil rakortas kemudian diterjemahkan dalam peraturan menteri sebagai dasar impor daging berbasis zona. Ketut menyebut, produk daging domestik baru dapat memenuhi 68 persen kebutuhan nasional, sedangkan 32 persen harus didatangkan dari impor.
Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Banun Harpini mengatakan, saat ini pemerintah masih membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pulau Karantina sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 41/2014. RPP yang diajukan sejak 2016 itu nantinya menjadi payung hukum jika suatu saat Indonesia membangun pulau karantina.
RPP ini mengatur secara teknis tentang pulau karantina. Jika memenuhi persyaratan analisis mengena dampak lingkungan (amdal), Pulau Naduk, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, menjadi alternatif pulau karantina. Namun, jika tidak memenuhi persyaratan, dimungkinkan mencari alternatif lain.
Dalam keterangan resminya, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) Yeka Fatika mengatakan, putusan MK membawa implikasi penting bagi tata kelola impor hewan dan produk hewan di Indonesia.
Pertama, impor berbasis zona diperbolehkan dengan prinsip pengamanan maksimal. Tantangan ke depan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan kepastian hukum terhadap aktivitas impor produk hewan. Kedua, pemerintah perlu segera membentuk otoritas veteriner yang akan berperan dalam memastikan keamanan barang yang diimpor.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki badan otoritas veteriner. Putusan MK harus menjadi faktor pemercepat pembentukan badan otoritas veteriner. Tanpa badan ini, kegiatan impor hewan ternak menjadi terkendala dan perlu dipayungi oleh regulasi yang bersifat sementara. Ketiga, pemerintah pun harus menentukan institusi mana yang berwenang untuk menetapkan kondisi “dalam hal tertentu†sehingga diperlukan impor.
Menurut Yeka putusan MK telah memberikan rambu yang jelas bahwa impor berbasis zona bukanlah hal yang keliru. Namun, harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal.
Sumber: Tempo