SUKABUMIUPDATE.com - Memotret bentuk keberagaman di Kota Sukabumi bisa dilihat dari berbaurnya masyarakat berbagai etnis. Meski mayoritas beretnis Sunda, tetapi sejak dahulu semua etnis, termasuk Tionghoa, bisa hidup berdampingan dengan damai.
Tidak bisa dipungkiri, keberadaan etnis Tionghoa di Kota Sukabumi menjadi bagian tidak terpisahkan dari geliat ekonomi dan budaya sejak kota ini lahir. Perayaan tahun baru Imlek merupakan salah satu budaya Tionghoa yang diakui eksistensinya, terbukti setiap perayaan Imlek selalu digelar beragam acara untuk merayakannya.
Berbicara soal Imlek tentu tidak lengkap jika tidak menyebut dodol, sama halnya seperti ketupat dan Hari Raya Lebaran, Hiruk pikuk menjelang perayaan Imlek yang jatuh pada hari Sabtu (28/1) di kota ini, bisa dilihat di sentra pembuatan kue keranjang atau dodol Imlek di Jalan Tipar, Kecamatan Citamiang.
Bicara dodol Imlek atau populer disebut dodol Cina, kurang afdol jika tidak menyebut Koh Afat. Keluarga ini sudah membuat dodol sejak 1960-an, dodol diproduksi setiap tahun untuk disebar ke berbagai kota di Jawa Barat dan Jakarta.
Bagi Afat, meneruskan tradisi ini adalah suatu kehormatan, karena tidak hanya bernilai ekonomi, tapi juga menjaga lestarinya budaya dodol Imlek di Kota Sukabumi. Walaupun dari tahun ke tahun pesanan dodol berbahan baku utama buah nanas ini terus menurun, namun ia tetap menjalaninya dengan penuh rasa bangga.
BACA JUGA:
Happy Juice dari Cibadak, Ketika Kerja Keras Tidak Pernah Mengkhianati Hasil
Sasagon, Camilan Sukabumi yang Hits Era 90an
Bakso Kelapa, Godaan Baru Pecinta Kuliner di Kota Sukabumi
“Tahun ini pesanan turun 25 persen, mungkin karena yang bikin banyak, sedangkan pasar kami tidak berkembang pesat,†jelasnya kepada sukabumiupdate.com, Minggu (22/1) disela kesibukkanya membuat dodol.
Saat ini, kegiatan di rumah produksi Afat sedang ramai-ramainya, karena memburu pesanan para pelanggan. Menjelang perayaan Imlek, Afat dan sejumlah karyawannya bisa memproduksi satu ton dodol per hari.
Kue keranjang Imlek atau oleh masyarakat Tiongkhoa disebut ni kwee buatan Afat ini, bertahan karena diproduksi secara tradisional. “Mungkin pesanan turun karena sudah ada yang memproduksi dengan bantuan teknologi, tapi yang tradisional punya konsumen loyal,†tuturnya.
Membuat kue keranjang secara tradisional butuh perlakuan khusus dan kesabaran, karena butuh waktu produksi lebih lama. Bahan baku pembuatnnya juga tetap dipertahankan sejak dulu, yaitu tepung beras ketan dan gula. Dengan perlakuan khusus, kue keranjang bisa tahan satu tahun meski agak mengeras karena dikukus.
“Dengan 22 orang pegawai, per hari sekarang mampu memproduksi 3.000 buah kue keranjang. Tahun ini dijual 35 ribu Rupiah per kilogram. Kalau eceran kita jual 17 ribu Rupiah per biji,†pungkas Afat.