SUKABUMIUPDATE.COM - Debur ombak dan cipratan air laut di Pantai Masceti, sama sekali tidak menggoyahkan semangat puluhan orang yang sedang tekun mengumpulkan batu-batu sikat berukuran kecil ke dalam ember plastik. Cahaya matahari tengah bersinar hangat menyinari pantai yang terletak di Desa Medahan, Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Kemeretak batu yang saling beradu dan suara orang-orang yang sibuk membungkuk mengumpulkan bebatuan satu demi satu, menjadi fragmen keseharian di Pantai Masceti.
Batu-batu sikat, dijumpai di pegunungan, lembah, atau pantai. Batu ini memiliki beragam manfaat, sebagai bahan urugan, hiasan taman atau untuk memperindah tampilan rumah.Di sepanjang Pantai Masceti, batu-batu ini banyak berserakan dan menjadi tumpuan warga untuk mengais rupiah agar mampu mencukupi kebutuhan hidup.
Meskipun didera terpaan angin kencang, pekerjaan sebagai pengumpul batu sikat tetap menjadi pilihan sebagian warga Desa Medahan dan sekitarnya."Sudah 10 tahun saya bekerja mencari batu sikat. Lumayan hasilnya bisa untuk beli beras, karena suami kerja jadi kuli bangunan. Jadi penghasilan suami tidak seberapa," ujar Wayan Mendri, warga Desa Medahan, sambil terus memunguti batu-batu sikat.
Menurut ibu dua anak ini, dalam sehari dirinya mampu mengumpulkan 2-4 ember. Masing-masing ember berisi batu sikat berbagai ukuran, dan masih tercampur dengan pasir. Harga jual batu sikat itu adalah Rp8 ribu setiap ember. Jadwal mengumpulkan batu, lanjut dia, setelah menyesaikan pekerjaan rumah tangga. Barulah, perempuan ini melakukan perjalanan menuju pantai, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya untuk memulai peruntungan mencari batu sikat.
Aktivitas mengumpulkan batu sikat di Pantai Masceti, umumnya dilakukan pagi hari sejak pukul 05.00 hingga pukul 10.00 Wita. Setelah itu, pencari batu berhenti karena cahaya matahari kian terik bersinar. Sore hari, kegiatan mencari batu dimulai kembali sejak pukul 04.00 Wita hingga malam hari. "Kami sesama pencari batu, sudah biasa berjongkok berjam-jam. Sudah biasa menahan angin, hujan, dan rasa capai. Yang penting bisa membantu suami mencari nafkah dan anak-anak tidak kelaparan," ucap Mendri dengan suara riang.
Menjadi pencari batu sikat, juga dilakoni Komang Adi. Lelaki asal Desa Segah, Karangasem ini sudah sekitar tujuh tahun tinggal di dekat Pantai Masceti dan memiliki pekerjaan sebagai tukang parkir, merangkap tukang pencari batu sikat. Setiap pagi, dalam tempo 1-2 jam, Komang Adi sudah bergiat di pantai untuk mencari batu bersama puluhan orang lainnya. Mendekati pukul 08.00 Wita, Komang Adi menghentikan kegiatannya di tepi pantai, dan mulai bersiap-siap bekerja sebagai tukang parkir.
"Kalau pagi-pagi mencari, paling dapat satu karung kecil. Nanti istri saya, Putu Ningsih, yang memilah batu sebelum dijual," ujar dia. Putu Ningsih menimpali. Sembari berjualan di pinggir pantai, dirinya sudah biasa memilah batu-batu sikat.
 Setelah dipilah dan terkumpul beberapa sak, barulah batu itu dijual ke pihak pengepul. Dikatakan Putu Ningsih, kalau tidak sempat memilah dan dijual campuran maka harga batu menjadi murah, antara Rp7 ribu-Rp8 ribu per sak. Proses menjualnya tidak repot, karena sudah ada pengepul yang siap menampung batu-batu sikat itu. Berapapun banyaknya hasil batu sikat yang didapatkan.
"Lumayan hasil dari mencari batu, bisa untuk menambah biaya hidup. Karena kami memiliki anak-anak yang masih sekolah. Penghasilan warung, mencari batu dan pekerjaan suami menjadi tukang parkir ini, saling menunjang kebutuhan sehari-hari. Kalau tidak begitu, mana bisa kami hidup? Untuk sewa lahan satu are buat bikin warung saja, kami harus bayar Rp1,5 juta per tahun," ucap Putu Ningsih.
Meski demikian, Putu Ningsih menyatakan tidak setiap hari batu sikat bisa didapatkan. Kalau sedang musim ombak besar, dipastikan tidak ada yang turun ke pantai untuk mencari batu sikat. Pengepul Batu Sikat Beberapa meter dari pantai, lelaki asal Desa Tembuku, Bangli, bernama Nyoman Bangri terlihat duduk mengawasi para pencari batu. Wajahnya nampak datar melihat kesibukan puluhan orang di sepanjang Pantai Masceti.
Bangri mengaku setiap hari hilir mudik ke Pantai Masceti untuk membeli batu-batu sikat, baik yang masih campuran atau sudah dipilah berdasar warna dan ukuran besar kecilnya. Batu yang sudah dipilah, dibeli dengan harga Rp15 ribu per lima kilogram, sedangkan untuk batu hitam mengkilat, harganya lebih mahal lagi, Rp70 ribu/lima kilogram.
Batu-batu itu kemudian dijual ke sejumlah pembeli di berbagai daerah di Bali. Sesekali ada juga pembeli dari Lombok yang memesan batu sikat dari Pantai Masceti. Menurut dia, batu-batu sikat ini untuk dipakai ornamen halaman rumah, vila, atau bahkan hotel. Belakangan pemilik tempat suci umat Hindu yang disebut merajan pun cenderung menggunakan batu sikat sebagai ornamen lantai.
Untuk sekali transaksi penjualan batu sikat pada pembeli di berbagai daerah, dirinya tidak mengambil banyak keuntungan. Paling hanya sekitar Rp20 ribu-Rp30 ribu. "Kalau ambil untung banyak, nanti pembeli dikhawatirkan membatalkan transaksi dan memilih membeli di tempat lain. Makanya, untung sedikit pun tidak apa-apa," katanya.
Bangri berharap tidak ada larangan bagi warga untuk mencari batu sikat di kawasan Pantai Masceti agar tidak mematikan perekonomian warga sehingga bisa menurunkan angka kemiskinan di wilayah setempat. Ia mengaku sempat ada desas-desus soal larangan orang-orang mencari batu sikat di Pantai Masceti. Kalau itu benar-benar terjadi maka warga sekitar pantai akan langsung merasakan dampaknya karena kehilangan lapangan pekerjaan.