SUKABUMIUPDATE.COM – Siapa tak mengenal caruluk (kolangkaling-red). Tren buah pohon aren berbentuk bulat dan berwarna putih ini, selalu melejit pada setiap bulan Ramadhan tiba. Buah ini biasa digunakan warga sebagai campuran es, kolak atau manisan. Dingin, kenyal sekaligus segar di lidah.
Proses pengolahan caruluk dimulai dengan merontokan buah aren dari tandannya. Jika menyaksikan langsung, tentu tidak semua orang mau melakukan pekerjaan seperti ini. Bukan persoalan rumit, tetapi getah buah aren bisa mengakibatkan gatal-gatal jika terkena kulit, dan tidak ada obatnya.
Namun tidak demikian bagi Anggana (41) dan rekan-rekannya, warga Kampung Ciaulpasir, Desa Sudajaya, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi kulitnya seolah sudah kebal karena setiap hari terkena getah buah aren.
Setelah dipisahkan dari tandan, buah aren direbus di dalam drum dan dibiarkan selama dua jam, sambil sesekali diaduk hingga matang merata. Sesekali Anggana mengambil satu buah aren yang sedang direbus untuk memastikan tingkat kematangan.
Jika sudah cukup waktu perebusan dan matang merata, caruluk yang sudah matang bulat utuh saat dikupas, namun jika kurang matang, caruluk akan terbelah dua. Menurut Anggana, proses pengolahan caruluk memang sederhana.
Namun pengadaan bahan baku buah aren tidak lah mudah. Tidak semua pemilik pohon aren mau menjual buah aren. Sebagian besar pemilik pohon aren lebih senang menyadap tandannya untuk dijadikan gula yang harga jualnya lebih tinggi.
Di tengah kian sulitnya mendapatkan bahan baku, usaha yang dilakoni Anggana (41) sejak sepuluh tahun lalu ini, dianggap masih menjanjikan.
Anggana dan rekannya terus mengolah caruluk pesanan agen buah di sejumlah pasar tradisional di Sukabumi, meskipun harus mencari bahan baku hingga ke pelosok Cianjur.
Anggana dan teman-temannya tidak patah arang, meskipun pendapatan selama sebelas bulan masih kalah dibanding dengan satu bulan Ramadhan saja.
Di bulan puasa hingga lebaran, Anggana bisa meraup pendapatan hingga lima juta rupiah, sedangkan pada bulan-bulan biasa, berkisar 500 ribu rupiah per bulan.
“Untungnya memang gak banyak, tapi lumayan. Mencari kerjaan lain malah susah, apalagi caruluk ini makin sulit didapat, kalau tidak kita yang tetap bertahan, bisa-bisa caruluk ini tinggal nama. Ya, kita niatkan itung-itung melestarikan penganan tradisional ini,†terang Anggana.
Bicara soal permodalan, Anggana berharap ada bantuan dari pemerintah untuk menolong usaha tradisional ini, agar bisa tetap bertahan. Bantuan dimaksud bisa berupa pinjaman lunak dari koperasi.
Permodalan memang menjadi masalah utama Anggana dan rekannya, akibat sulitnya mengandalkan pendapatan harian jika hanya mengandalkan dari caruluk yang harganya hanya empat ribu rupiah  hingga lima ribu rupiah per kilogramnya pada bulan-bulan biasa.