SUKABUMIUPDATE.com - Pakar siber di Indonesia mempertanyakan big data warganet yang selalu disebut Luhut Binsar Panjaitan sebagai landasan wacana pemilu 2024 ditunda. Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC berharap data tersebut dibuka agar bisa dilihat sum
Walaupun Presiden Joko Widodo baru saja menegaskan pemilu tidak ditunda, tetap berlangsung pada 14 Februari 2024, namun isu ini terlanjur picu gaduh. Statemen Jokowi ini sekaligus menjawab polemik penundaan pemilu, yang muncul setelah klaim Menko Marves Luhut Panjaitan (LBP) bahwa 110 juta masyarakat menginginkan penundaan pemilu, diketahui lewat big data.
Hingga saat ini banyak pihak mendorong LBP membuka data tersebut, agar bisa dikaji secara terbuka oleh publik. Terkait hal ini, pakar keamanan siber Pratama Persadha dalam keterangannya Senin, 11 April 2022 lalu menjelaskan bahwa proses bagaimana dan darimana data ini diambil harus jelas, sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
“Secara teknis, ada banyak cara mengetahui perbincangan publik di media sosial atau platform internet lainnya. Karena itu, kita perlu bertanya 110 juta yang disampaikan Pak Luhut ini mengambil data dari platform apa dan bagaimana metodologinya. Perlu disampaikan ke publik, agar kita bisa menilai sejauh mana, sekaligus membuka ruang diskusi,” terang Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) itu.
Menurut Pratama, sumber data harus dibuka. Jika dari Twitter, pemakai aktif twitter di Indonesia kini hanya di angka 15 jutaan saja, itupun masih banyak akun-akun anonim, Jadi tidak mungkin data 110 juta tersebut berasal dari Twitter.
“Bila mengambil dari Twitter ini jelas tidak cukup, bahkan dari hasil riset CISSReC menggunakan Open Source Intelligence (OSINT) akun Twitter yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan 3 kali periode di kisaran 117.746 (Tweet, Reply, Retweet) dan mencapai 11.868 pemberitaan online," jelasnya.
Baca Juga :
"Dari data keduanya diketahui yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60% dan pro 16,40%. Sedangkan pada Media Online dengan kontra sebesar 76,90% dan pro 23,10%. Dari data ini saja sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu,” sambung Pratama.
Data ini lanjut Pratama diambil dan dianalisis saat setelah ada statement dari Menko Marves Luhut Panjaitan, pada periode analisis tanggal 15 Februari sampai dengan 15 Maret 2022, dengan sejumlah tokoh dan organisasi yang pro dan kontra. Tokoh kontra penundaan pemilu yang paling banyak terdapat pada artikel berita yaitu Agus Harimurti Ketum Partai Demokrat sebanyak 1420, disusul Surya Paloh Ketum Nasdem sebanyak 555.
Lalu tokoh pro penundaan pemilu yang terbanyak yaitu Muhaimin Iskandar 3892 artikel berita, diikuti Zulkifli Hasan Ketum PAN. Ada juga 10 organisasi yang pro penundaan pemilu seperti PKB, Golkar, dan Kemenkomarves. Lalu yang kontra sebanyak 71 organisasi yaitu PPP, PDIP, LSI (Lembaga Survei Indonesia), Partai Demokrat, Muhammadiyah, dan yang lainnya.
“Berbeda bila 110 juta ini mengambil pembicaraan dari FB, Instagram dan TikTok, jumlah pemakainya memang sangat banyak. FB di Indonesia pemakai bisa jadi lebih dari 130 juta, Instagram sudah hampir menembus 100 juta pemakai, belum lagi TikTok yang pemakainya bertambah dengan cepat di Indonesia. Namun tidak semuanya membicarakan penundaan pemilu, banyak yang tidak perduli. Lebih banyak membicarakan hal yang lain,” terang Pratama.
Data-data ini yang membuat klaim LBP soal 110 Juta Bigdata Warganet Dukung Pemilu 2024 Ditunda, itu harus dibuka, ini harus jelas. Menurut Pratama, untuk mengambil data ini dengan survey juga hal yang sangat sulit, bahkan mustahil meskipun dilakukan online, karena harus sesuai dengan usia, dan untuk mencapai angka 110 juta itu sangat sulit dilakukan.
“Mengumpulkan dan membaca data FB, IG dan WA tidak semudah di Twitter yang membuka API (application programming interface). Sehingga perlu persetujuan FB untuk pihak ketiga membaca data dan mengumpulkannya. Hal ini mirip seperti yang dilakukan oleh Cambridge Analytica yang membaca kecenderungan pilihan warga Inggris menjelang Brexit dan pilihan warga AS menjelas pilpres 2016. Pada akhirnya setelah ini bocor menjadi kasus besar, yang pada akhirnya berujung pada semakin ketatnya perlindungan data pribadi di eropa dengan GDPR General Data Protection Regulation),” ungkap Pratama.
Jadi 110 juta data berasal dari Twitter sudah pasti tidak mungkin karena jumlah akun aktifnya di Indonesia sedikit, lanjut dia. Yang memungkinkan adalah data tersebut diambil dari FB cs, melihat berbagai peristiwa yang melibatkan FB di waktu lalu, namun pasca kasus Cambridge Analytica, FB membatasi untuk tidak membagi data pada pihak ketiga dengan mudah.