SUKABUMIUPDATE.com - Dua bibit siklon tropis terdeteksi muncul di sekitar Indonesia, salah satunya 91S. Kemunculan ini menambah potensi ancaman dari perubahan pola cuaca disaat siklon tropis paddy masih berada berada di samudra Hindia selatan Pulau Jawa.
Peneliti klimatologi dari Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengatakan saat ini terpantau kemunculan bibit siklon tropis baru bernama 91S di lautan arah barat daya Selat Sunda. Temuan itu berdasarkan data pemantauan dari Joint Typhoon Warning Center (JTWC) milik pemerintah Amerika Serikat.
Mengutip tempo.co, menurut Erma, kini ada tiga siklon dan bibitnya yang muncul di sekitar Samudera Hindia. Siklon tropis Paddy yang beberapa hari lalu terbentuk di perairan selatan Jawa bagian tengah kini semakin menjauh ke selatan.
Selain Paddy, terdapat bibit siklon lain, yaitu 91S, dan pembentukan depresi tropis di Samudra Hindia bagian utara dekat India. “Disebut depresi tropis karena berpotensi dapat berkembang menjadi bibit siklon tropis,” katanya kepada Tempo, Rabu 24 November 2021.
Ciri-ciri depresi tropis sama seperti bibit siklon tropis, yaitu berupa pusaran angin yang berlawanan arah jaruh jam di belahan bumi utara atau India. Fenomena alam itu juga dikenal dengan istilah anti-cyclonic vortex. Koordinat lokasinya berada di 10-an derajat Lintang Selatan dan 90-an derajat Bujur Timur.
Kemunculan siklon dan 2 bibitnya itu, menurut Erma, telah menyebabkan fase monsoon break atau jeda monsun selama dasarian ketiga pada November 2021 ini. “Sehingga menahan atau menghalangi angin monsun Asia masuk ke wilayah Indonesia,” katanya.
Disebut jeda karena selama periode itu curah hujan menjadi minimum di kawasan Indonesia bagian barat, yang meliputi Sumatera, Jawa, dan sebagian selatan Kalimantan.
Tiupan angin monsoon Asia lazimnya membawa uap air dan menghasilkan musim hujan di Indonesia. Monsun Asia dicirikan sebagai angin dari utara Indonesia pada ketinggian sekitar 1,5 kilometer dengan kecepatan rata-rata 3 meter per detik.
Angin utara itu melewati Laut Cina Selatan dan berbelok menjadi angin baratan ketika melintasi ekuator. Tujuannya ke wilayah Laut Jawa, Sumatera bagian selatan, sebagian Kalimantan, Pulau Jawa, hingga Nusa Tenggara.
Namun pada saat muncul siklon dan 2 bibitnya sekarang ini, angin dari utara yang akan melintasi Laut Cina Selatan mengalami pembelokan ke arah barat menuju kawasan India dan sekitarnya. Kondisi itu menyebabkan jeda monsun selama beberapa hari di sepanjang musim hujan.
“Sehingga menyebabkan penundaan awal musim hujan atau membuat penurunan hujan di masa periode puncak yang seharusnya ditandai dengan intensitas hujan tinggi,” katanya.
Dampak lain secara tidak langsung dari siklon tropis Paddy adalah pembentukan angin kencang di wilayah Jawa bagian barat. Kondisi itu dampak dari wilayah divergensi angin di Laut Jawa yang menyebabkan pembelokan angin kuat dari Laut Jawa menuju kawasan utara Jawa bagian barat, khususnya di wilayah sekitar Serang, Tangerang, Depok, dan sekitarnya.
Menurut Erma, angin yang berasal dari utara Laut Jawa bertemu dengan angin dari selatan atau Samudera Indonesia (hindia) yang dihasilkan dari area terluar siklon. Lokasi pertemuan angin itu saat ini lebih banyak terjadi di laut selatan Jawa.
Kondisi itu menyebabkan wilayah konvergensi di darat bergeser ke laut. “Sehingga hujan minimum atau kondisi kering terbentuk di darat, sementara di laut Jawa dan perairan selatan Jawa mengalami kondisi banyak hujan,” katanya.
Jeda monsun, menurut Erma, akan diakhiri dengan pembentukan vorteks Borneo atau pusaran angin skala meluas dengan radius puluhan hingga ratusan kilometer di atas Kalimantan. Dari hasil penelitian, dampaknya berupa peningkatan hujan signifikan untuk beberapa wilayah di sekitarnya.
”Jika vorteks Borneo terjadi, daerah yang harus bersiap melakukan mitigasi adalah Kalimantan dan sekitarnya,” ujarnya.
Selain itu, efek dari siklon dan 2 bibitnya itu dapat menyebabkan dinamika atmosfer berubah sangat cepat misalkan dalam hitungan 2-3 jam. Menurut Erma, kondisi atmosfer itu perlu dipantau menerus secara intensif dari satelit.
Kebaruan datanya untuk prediksi cuaca minimal empat kali sehari. “Dengan hasil prediksi yang perlu dibuat dalam skala waktu tiap jam agar kita dapat mengetahui perubahan dinamika atmosfer,” katanya.
SUMBER: TEMPO.CO