SUKABUMIUPDATE.com - Sebuah makalah di British Medical Journal (BMJ) mengungkapkan dugaan kemungkinan penggunaan media sosial TikTok dapat menyebabkan lonjakan kasus diagnosis sindrom Tourette pada gadis remaja.
Mengutip tempo.co, Sindrom Tourette merupakan gangguan yang membuat penderitanya melakukan tic, yaitu gerakan atau ucapan berulang yang di luar kendali. BMJ melaporkan bahwa banyak pengguna, penderita sindrom Tourette—dengan berbagai latar belakang—yang mengunggah video di TikTok dengan tambahan tagar #tourettes dan telah dilihat lebih dari tiga miliar kali.
Mereka menunjukkan bagaimana melalui situasi sehari-hari dengan kelainan tersebut, dan kontennya memicu perdebatan medis yang kontroversial.
“Ada beberapa kekhawatiran bahwa media sosial dan situs web seperti TikTok yang mempromosikan berbagi video influencer dengan gejala itu mungkin memiliki peran,” ujar seorang dokter di Great Ormond Street Hospital for Children, Inggris, yang menulis makalah tersebut, seperti dikutip Wired, Maret 2021 lalu.
Dokter yang tidak disebutkan namanya itu mengingatkan bahwa mereka melihat peningkatan penderita sindrom Tourette yang signifikan untuk perempuan remaja—kondisi ini biasanya dimulai di usia 2–15 tahun dan lebih umum terjadi pada anak laki-laki—awal tahun 2021. Namun, masih sebuah teori dan tidak jelas bagaimana mekanisme hubungan antara maniak menari di konten TikTok dengan sindrom Tourette.
“Sugestibilitas bisa menjadi salah satu akar penyebab,” kata Uttom Chowdhury, yang bekerja di klinik komunitas National Health Service (NHS) yang berfokus pada Tourette dan tic.
Kliniknya telah melihat peningkatan jumlah rujukan untuk gadis remaja yang tidak biasa. Menurut Chowdhury, gadis-gadis yang datang tidak memiliki riwayat keluarga, jadi ada sesuatu yang berbeda. Seharusnya, dia mencatat, sekitar 50 persen dari mereka yang menderita Tourette kemungkinan besar akan menularkannya kepada anak-anak mereka.
“Ada rasa kepastian. Tetapi kemudian Anda bertanya-tanya apakah itu menyediakan kebutuhan psikologis,” tutur Chowdhury, sambil menambahkan bahwa para ahli dan dokter tahu ada sugestibilitas.
Jadi, kata Chowdhury, jika dia memiliki pasien di ruangannya, kemudian bertanya: ‘apakah memiliki tic di kepala atau leher Anda?’, cepat atau lambat mereka akan tic. “Jika mereka melihat sesuatu, sangat mudah untuk menyalinnya, ada sugesti itu. Dan menonton video bisa membuat orang menirunya juga,” katanya.
Sementara, Suzanne Dobson dari Tourettes Action—sebuah badan amal Inggris yang mendukung mereka yang memiliki Tourette, dan mendanai penelitian, mengaku setuju dengan dugaan Chowdhury. Namun, dia mempertanyakan apakah umpan balik langsung dari media sosial benar-benar memunculkan tic baru, atau hanya mendorong orang untuk lebih terbuka tentang yang sudah ada, sehingga berusaha menguranginya.
Dobson memberikan contoh, ada wanita muda yang memfilmkan diri sendiri melakukan tic, dan mempostingnya di TikTok, lalu mereka memberikan keterangan: 'Apa yang terjadi pada saya?’. Kemudian mendapatkan komentar, 'Mungkin itu Tourette', tapi mereka mendapatkan banyak Like dan mengumpulkan pengikut.
“Jadi, saat tic mereka menjadi lebih ekstrim, semakin banyak yang memposting, semakin mereka mencari kepastian dari kelompok sebaya mereka, semakin banyak umpan balik negatif yang terus berlanjut,” ujar Dobson, sambil menambahkan mustahil untuk menyalahkan media sosial.
Namun, Chowdhury menambahkan, salah satu penyebab utama Tourette diyakini adalah kecemasan, dan manusia tidak benar-benar hidup normal saat ini karena pandemi Covid-19. Tourette adalah penyakit fungsional yang memiliki tujuan, mungkin untuk melepaskan kecemasan atau semangat.
Seandainya para remaja yang sudah cemas, khawatir tentang pandemi, tidak melihat orang-orang dengan Tourette di TikTok, kecemasan mereka mungkin baru saja memanifestasikan dirinya dengan cara yang berbeda. “Ini justru berpotensi lebih merusak,” kata Chowdhury.
Namun, baik Chowdhury atau Dobson—atau siapa pun, termasuk para ahli yang bertukar teori di BMJ—tidak dapat mengatakan dengan pasti apakah TikTok adalah ayam atau telur dalam situasi ini. Menurut Chowdhury, mungkin ada sekelompok orang yang sangat mudah disugesti.
“Dengan cara yang sama ada histeria di abad yang berbeda, ada wabah tic. Kami tidak cukup tahu, dan saya tidak mengatakan ini histeris atau dibuat-buat. Saya selalu berpikiran terbuka tentang hal itu,” tutur Chowdhury.
SUMBER: WIRED/BMJ/TEMPO.CO