SUKABUMIUPDATE.com - Catatan sejarah gempa besar memperlihatkan belum pernah ada bukti gempa berskala mega atau great dengan magnitudo lebih dari 8,5 terjadi di selatan Pulau Jawa.
"Berbeda dari zona megathrust di barat Pulau Sumatera," kata Dimas Sianipar, staf Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG yang sedang menempuh pendidikan di TIGP Earth System Sciences, Academia Sinica & National Central University, Taiwan.
Dimas berkomentar atas peta sejarah gempa besar Pulau Jawa yang diunggah di akun Twitter milik Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, pada Rabu 9 Juni 2021.
Peta berisi sebaran 11 gempa berkekuatan 7,0 magnitudo atau lebih yang tercatat pernah terjadi di selatan Jawa. Peta merangkum gempa besar sejak, yang paling silam, pada 1840 (mendekati 7,5 magnitudo) hingga yang terkini 2009 yang berkekuatan 7,3 magnitudo (saat itu mengguncang Tasikmalaya).
Menurut Dimas, ada dua kemungkinan penjelasan dari sejarah selatan Jawa yang tak memiliki gempa berkekuatan mega lebih dari 8,5 magnitudo tersebut.
Pertama, zona subduksi selatan Pulau Jawa sebenarnya memang tidak punya potensi dan sejarah gempa yang sangat ditakutkan itu, "Karena faktor usia tumbukan lempeng yang relatif lebih tua dan geometri subduksi-nya."
Pengukuran GPS di darat saat ini, dia menjelaskan, belum memiliki resolusi yang cukup untuk memahami potensi slip gempa di perairan selatan Pulau Jawa. Pengukuran geodetik di darat, kata Dimas, masih belum sensitif dengan fault slip di laut.
Kemungkinan yang kedua, rentang waktu observasi dalam catatan sejarah gempa itu yang kurang panjang. "Lebih pendek daripada periode ulang atau siklus seismik gempa itu sendiri (yang mungkin ribuan tahun) sehingga kita belum melihat adanya bukti gempa mega tersebut," tulisnya.
Kemungkinan yang kedua ini yang menurutnya mendasari pemodelan simulasi gempa 8,5 magnitudo di selatan Jawa Timur yang dilakukan BMKG belum lama ini. Seperti diketahui, berdasarkan pemodelan itu, gempa bakal membangkitkan tsunami hingga 29 meter. "Worst case," kata Dimas.
Terlepas dari ketidaktahuan di antara dua kemungkinan itu, Dimas setuju mitigasi bencana gempa dan tsunami tetap harus disuarakan untuk kewaspadaan bersama.
Alasannya jelas, "Kita sudah pernah merasakan efek gempa maksimal Mw 7,7-7,9." Dia menunjuk gempa Mw 7,8 di Mentawai (+tsunami) pada 25 Oktober 2010, Mw 7,8 di Simeulue pada 6 April 2010, dan Mw 7,7 di Pangandaran pada 17 Jul 2006 .
Adapun Daryono dalam unggahan peta sejarah gempa besar itu memberi catatan bahwa gempa besar Jawa akibat aktivitas subduksi lempeng membuktikan bahwa justru Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat adalah yang paling sering dilanda gempa besar.
"Upaya mitigasi tetap wajib dan harus diwujudkan di daerah rawan sekalipun bicara gempa memiliki banyak ketidakpastian," kata dia juga.
Sumber: Tempo