SUKABUMIUPDATE.com - Bill Gates secara mengejutkan tengah mendukung sebuah pengembangan teknologi peredupan matahari dengan cara memantulkan sinarnya keluar dari atmosfer bumi. Pendiri Microsoft ini berharap proyek yang diberi nama SCoPEx tersebut dapat mengatasi pemanasan global. Nama Indonesia pun tak luput dalam pembahasan program ini.
Melansir dari laporan Forbes pada 11 Januari 2021, proyek SCoPEx atau Eksperimen Perturbasi Terkendali Stratosfer ini diluncurkan oleh sejumlah ilmuwan dari Universitas Harvard dan mendapat dukungan finansial dari Bill Gates.
Proyek tersebut bekerja dengan cara menyemprotkan debu kalsium karbonat (CaCO3) tidak beracun (aerosol) ke atmosfer untuk memantulkan sinar matahari. Kalsium karbonat sendiri merupakan senyawa yang umum dijumpai pada batu di semua bagian dunia, dan merupakan komponen utama cangkang organisme laut, seperti siput, bola arang, mutiara, dan kulit telur.
SCoPEx akan mengambil langkah kecil dalam penelitian awalnya pada bulan Juni ini dengan meluncurkan balon yang membawa sejumlah instrumen ilmiah setinggi 20 kilometer di dekat kota Kiruna, Swedia. Perusahaan luar angkasa Swedia pun disebut telah setuju untuk membantu peluncuran balon tersebut.
Peluncuran balon ini tidak bertujuan untuk melepaskan aerosol ke stratosfer. Percobaan tersebut justru akan berfungsi sebagai tes untuk menggerakkan balon dan memeriksa sistem komunikasi dan operasional. Jika ini berhasil, maka dapat menjadi langkah menuju tahap percobaan kedua yang akan melepaskan sejumlah kecil debu CaCO3 ke atmosfer.
Belum diketahui dengan pasti berapa jumlah CaCO3 yang diperlukan untuk mendinginkan planet ini. Bahkan ilmuwan SCoPEx sendiri tidak bisa memastikan apakah aerosol stratosfer tersebut merupakan partikel terbaik untuk mengerjakan proyek tersebut atau bukan.
Namun dalam penelitian awal menunjukkan bahwa zat tersebut memiliki "sifat optik yang mendekati ideal" dan memungkinkannya menyerap radiasi yang jauh lebih sedikit daripada aerosol sulfat. Hal ini menyebabkan pemanasan stratosfer yang jauh lebih sedikit dan menjadi tujuan dari proyek tersebut.
Nantinya, setelah sejumlah CaCO3 yang aman dan eksperimental dilepaskan, balon akan terbang melewatinya dan mengambil sampel reaksi atmosfer dan merekam dinamika yang dihasilkan. Penyelidik utama proyek ini, Frank Keutsch mengaku belum mengetahui apa hasil yang akan didapat. Namun ia menyebut, aerosol yang sempurna tidak akan langsung merusak stratosfer.
Di sisi lain, profesor fisika terapan dan kebijakan publik di Universitas Harvard, David Keith menuturkan, geoengineering atau konsep memanipulasi iklim bumi guna melawan efek pemanasan global memang telah banyak mendapat perhatian. Ia berujar, tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi hingga CaCO3 tersebut dirilis dan dipelajari setelahnya.
Penelitian luas tentang kemanjuran rekayasa geo surya sebenarnya telah terhenti selama bertahun-tahun karena menimbulkan kontroversi. Para penentang meyakini bahwa ilmu pengetahuan semacam itu datang dengan risiko yang tidak dapat diprediksi, termasuk perubahan pola cuaca yang ekstrem dan tidak berbeda dengan tren pemanasan yang sekarang disaksikan.
Sejumlah pemerhati lingkungan juga khawatir bahwa perubahan dramatis dalam strategi mitigasi akan diperlakukan sebagai lampu hijau untuk terus mengeluarkan gas rumah kaca dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam pola konsumsi dan produksi sekarang ini.
Namun para pendukung geoengineering telah mengutip efek pendinginan global dari letusan gunung berapi yang disebabkan masuknya abu sulfur ke atmosfer. Salah satunya letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 di Indonesia yang mengakibatkan "tahun tanpa musim panas". Sementara letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991 di Filipina yang menurunkan suhu rata-rata global sebesar 0,5 derajat celcius.
Sehingga mengeluarkan partikel serupa secara sengaja bisa berpotensi melawan emisi gas rumah kaca selama beberapa dekade. Bahkan sebuah laporan oleh panel antar pemerintah terkait perubahan iklim menyarankan prosedur SCoPEx bisa menurunkan suhu global hingga 1,5 derajat celcius penuh untuk tidak lebih dari $ 1-10 miliar setahun.
Kendati demikian, proyek yang mendapat dukungan Bill Gates ini tetap mendapat sorotan sejumlah pihak. Pasalnya, penurunan suhu tersebut dapat membawa risiko yang serius. Suhu beku yang terjadi pada tahun 1815 sendiri mengakibatkan kegagalan panen dan menyebabkan situasi kelaparan.
Ilmuwan Inggris dilaporkan telah menilai bahwa aerosol stratosfer dari letusan gunung berapi di Alaska dan Meksiko menjadi penyebab potensial kekeringan di wilayah Sahel Afrika. Gangguan besar pada iklim global memang bisa membawa konsekuensi yang tidak diinginkan, berdampak negatif pada kawasan berpenduduk padat, dan menyebabkan krisis pengungsi lainnya.