SUKABUMIUPDATE.com - Belum lengkap kalau makan tanpa nasi. Begitu kira-kira ungkapan yang sering kita dengar dari masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan memang, karena makanan berbahan dasar padi tersebut sudah cukup lama menjadi makanan pokok di negeri ini. Tapi bagaimana sejarah itu bermulai?
Salah satu kisah dalam naskah kuno Tantu Panggelaran yang digubah sekitar abad ke-15 menceritakan, zaman dahulu melintas empat ekor burung, yakni perkutut, puter, derkuku merah, dan merpati hitam tunggangan Bhatara Sri.
Lima anak Raja Makukuhan memburu dan berhasil menembaknya dengan ketapel. Jatuhlah tembolok burung-burung tersebut yang berisi biji berwarna kuning, putih, merah, dan hitam. Karena baunya yang wangi, kelima anak raja lalu memakan biji berwarna kuning sampai habis dan hanya menyisakan kulitnya.
Raja Makukuhan lalu mengambil dan menanamnya. Dari biji-biji tersebut kemudian tumbuh padi putih, hitam, dan merah. Sedangkan dari kulit biji berwarna kuning tumbuh kunyit.
Selain dari kisah tersebut, mitos munculnya padi juga termaktub dalam berbagai naskah kuno dan cerita lisan dengan beragam versi.
Padi yang diolah menjadi beras dan ditanak menjadi nasi memang tidak dapat dipisahkan dari hajat hidup masyarakat Indonesia. Tapi ternyata, makanan ini masih kalah tua dari makanan pokok lain di Asia Tenggara seperti sagu, talas atau keladi, dan sejenis gandum.
Padi berasal dari India lalu menyebar ke beberapa wilayah hingga akhirnya tiba ke Nusantara.
Anthony Reid dalam Asia Tenggara Kurun Niaga 1450-1680 menulis bahwa pada abad ke-15, padi atau beras telah menjadi tanaman yang lebih disukai karena bisa tumbuh dengan baik.
Dalam sumber yang lain disebutkan, ada dua peninggalan ihwal sejarah tanaman yang masuk dalam genus Oryza ini. Pertama, padi merupakan tanaman endemik Nusantara. Kedua, tanaman ini dibawa oleh orang China dan India.
Hal itu disebabkan masyarakat Nusantara sebelumnya menjadikan umbi-umbian sebagai makanan pokok, namun pada masa Hindu-Budha pedagang Tionghoa dan India membawa padi dan oleh masyarakat lokal dibudidayakan.
Beras sendiri telah diperdagangkan ketika Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) memulai petualangannya di Hindia Belanda. Selain di Jawa, kantong-kantong produksi beras juga muncul di Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sumbawa.
Produksi beras mengalami peningkatan di masa kolonial, bahkan hingga mengekspornya ke Belanda dan sejumlah negara di Asia Selatan. Meskipun begitu, beras saat itu belum menjadi makanan pokok masyarakat Nusantara.
Pejabat Biro Pusat Statistik Hindia Belanda yang mengawasi pertanian pribumi, A.M.P.A Scheltema menuturkan, sebagian masyarakat masih menganggap beras sebagai komoditas utama perdagangan. Sehingga meskipun jumlah produksi beras cukup besar di wilayah tertentu, masyarakat setempat lebih memilih sumber pangan yang lebih murah macam singkong dan jagung, serta menjual beras yang diproduksinya.
Tak hanya itu, faktor adat juga mempengaruhi konsumsi makanan masyarakat. Mereka memandang bahwa makanan paling enak adalah makanan yang telah disukai sejak nenek moyang mereka.
Scheltema menulis, beras belum menjadi makanan utama bagi sebagian besar penduduk pribumi saat itu, setidaknya hingga paruh pertama abad ke-19. Mengkonsumsi nasi menjadi semakin penting dalam seratus tahun terakhir akibat perluasan sawah secara besar-besaran. Tulisan Scheltema tersebut tertuang dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia yang disunting Pieter Creutzberg dan J.T.M van Laanen.
Namun saat ini sebagian masyarakat Indonesia mengkonsumsi nasi. Masalah lain muncul saat produksi padi menurun.
Dalam catatan sejarah, dari era Soekarno hingga Soeharto, pemerintah berusaha meningkatkan produksi padi dan seiring dengan itu dilancarkan program diversifikasi pangan.
Karena apa mau dikata, orang bilang rasanya belum makan jika tanpa nasi. Katanya, belum kenyang.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, luas panen padi pada tahun 2020 sendiri diperkirakan sebesar 10,79 juta hektar, mengalami kenaikan sebanyak 108,93 ribu hektar atau 1,02 persen dibandingkan luas panen tahun 2019 yang sebesar 10,68 juta hektar.
Kemudian, produksi padi pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 55,16 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 556,51 ribu ton atau 1,02 persen dibandingkan produksi di tahun 2019 yang sebesar 54,60 juta ton GKG.
Jika potensi produksi padi pada tahun 2020 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, maka produksi beras pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 31,63 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 314,10 ribu ton atau 1,00 persen dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 31,31 juta ton.
Sumber: Historia | Badan Pusat Statistik