SUKABUMIUPDATE.com - Hasil riset mengungkap jalur sepi gempa (seismic gap) di Samudera Indonesia selatan Jawa berpotensi sebagai sumber gempa besar megathrust. Skenario terburuknya adalah ketika segmen-segmen megathrust di sepanjang Jawa itu pecah secara bersamaan dan membangkitkan tsunami.
“Tinggi tsunami dapat mencapai 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di selatan Jawa Timur,” kata Guru Besar bidang Seismologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro.
Menurutnya, tidak ada gempa besar bermagnitudo 8 atau lebih dalam beberapa ratus tahun terakhir mengindikasikan ancaman gempa tsunamigenik dahsyat di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Ini seperti yang ditemukannya dalam studi terbaru tim yang dipimpinnya menggunakan data gempa dari katalog BMKG dan katalog International Seismological Center (ISC) periode April 2009 sampai November 2018.
Hasil pengolahan data gempa itu menunjukkan adanya zona memanjang di antara pantai selatan Pulau Jawa dan Palung Jawa yang hanya memiliki sedikit aktivitas kegempaan. “Karena itu kami mengidentifikasinya sebagai seismic gap,” ujar Widyantoro lewat keterangan tertulis, Jumat, 18 September 2020.
Selain analisis data gempa dan tsunami, tim memanfaatkan data GPS dari 37 stasiun yang dipasang di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama enam tahun terakhir untuk mempelajari sumber gempa di masa mendatang. Hasil pengolahan data dengan teknik inversi data GPS ini juga digunakan sebagai model simulasi numerik tinggi tsunami di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa jika terjadi gempa besar.
Dengan membandingkan bidang deformasi yang diamati dengan model gerakan lempeng dalam jangka panjang, hasil inversi data GPS dapat mengungkap proses akumulasi regangan saat ini yang kemungkinan mencerminkan pembentukan energi regangan jangka panjang. Jika deformasi GPS yang diamati lebih kecil daripada laju gerak lempeng (defisit slip), area tersebut berpotensi menjadi sumber gempa pada masa mendatang.
Widyantoro menerangkan, pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam studi ini serupa dengan yang digunakan untuk penelitian Palung Nankai di Jepang. Dengan mengadopsi asumsi ini, area laju gerak lempeng yang tinggi bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa. Luas zona defisit slip di selatan Jawa Barat setara dengan gempa bumi bermagnitudo 8,9 dengan asumsi periode ulang gempa 400 tahun sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.
Untuk periode ulang yang sama, zona dengan defisit slip tinggi di bagian timur setara dengan gempa bermagnitudo 8,8. “Sedangkan jika kedua zona defisit slip tersebut pecah dalam satu kejadian gempa, maka akan dihasilkan gempa dengan kekuatan sebesar Mw 9,1,” kata Widiyantoro.
Untuk memperkirakan potensi bahaya tsunami di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, tim melakukan pemodelan tsunami dengan tiga skenario, yaitu pada segmen Jawa bagian barat, segmen Jawa bagian timur, dan segmen gabungan dari Jawa bagian barat dan timur. Hasilnya antara lain potensi tsunami yang sangat besar dengan ketinggian maksimum 20,2 meter di dekat pulau-pulau kecil sebelah selatan Banten dan 11,7 meter di Jawa Timur.
"Tinggi tsunami bisa lebih tinggi daripada yang dimodelkan jika terjadi longsoran di dasar laut seperti yang terjadi saat Gempa Palu dengan magnitudo 7,5 pada 2018," bunyi hasil riset itu.
Kajian multidisiplin ini yang mencakup analisis data seismik dan geodetik serta pemodelan tinggi tsunami, kata Widiyantoro, secara jelas mengungkapkan adanya seismic gap di lepas pantai selatan Jawa yang dapat menjadi sumber gempa besar di masa mendatang dengan tsunami yang sangat destruktif.
Hasil studi ini menurut Widiyantoro mendukung seruan untuk menambah instrumen sistem peringatan dini tsunami yang relatif masih jarang untuk area di selatan Pulau Jawa untuk melindungi penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Tim riset beranggotakan Endra Gunawan, Abdul Muhari, Nick Rawlinson, Jim Mori, Nuraini Rahma Hanifa, Susilo, Pepen Supendi, Hasbi A. Shiddiqi, Andri D. Nugraha, dan Hengki E. Putra.
Sumber: Tempo.co