SUKABUMIUPDATE.com - Studi dari tim ilmuwan di Singapura memperkirakan bahwa pandemi COVID-19 akan berakhir dalam waktu yang berbeda-beda di banyak negara--paling cepat bulan ini. Melansir dari tempo.co, penelitian yang dipimpin oleh Jianxi Luo dari University of Technology and Design Singapura itu memprediksi pemulihan untuk mereka yang rentan terinfeksi melalui pemodelan matematika yang kompleks.
Luo menerangkan, menggunakan pengkodean sumber terbuka dari Milan Batista, dan data dari Our World in Data. "Tujuannya untuk memperkirakan kurva siklus hidup pandemi dan memprediksi kapan pandemi tersebut mungkin terjadi dan berakhir di masing-masing negara dan dunia," ujar dia, seperti dikutip dari Arab News, Selasa 28 April 2020.
Virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina, pada akhir tahun lalu itu hingga kini telah menginfeksi lebih dari tiga juta orang di seluruh dunia. Sebanyak lebih dari 200 ribu kematian disebabkannya.
Luo yang juga Direktur Laboratorium Inovasi Berbasis Data di kampusnya tersebut mengatakan, model prediksi dibuat murni didorong oleh rasa ingin tahu kapan COVID-19 akan berakhir di Singapura, di mana dia tinggal, dan negara-negara lain.
Menurutnya, pertanyaan kapan tanggal akhir pandemi itu ada di alam bawah sadar bagi kebanyakan orang. Jawabannya juga diperlukan secara mental dan jadi bagian penting dari perencanaan-perencanaan saat ini. "Tapi juga secara alami sulit dilakukan dengan baik karena ketidakpastian masa depan," katanya.
Studi yang dibuat Luo dan timnya menunjukkan siklus hidup virus untuk 131 negara. Sebagian divisualisasikan dalam grafik di halaman web Lab Inovasi Data-Driven yang diluncurkan pada 18 April. Data diperbarui setiap hari yang menciptakan titik belok dan fase akhir pandemi di ujung prediksi.
Hasil studi itu menempatkan Cina--negara pertama yang alami epidemi virus corona COVID-19--dalam kelompok yang sama dengan negara-negara kecil seperti Brunei serta Liechtenstein. Siklus pandemi di kelompok ini diperkirakan berujung pada awal April.
Sedang Indonesia diperkirakan baru akan terbebas 100 persen dari wabah pada awal September. Adapun pandemi di negara-negara seperti Qatar dan Bahrain diharapkan baru akan berakhir Februari tahun depan.
"Evolusi COVID-19 tidak sepenuhnya acak," kata Luo sambil menerangkan, "pendekatan berbasis model dan berbasis data dimungkinkan karena pengetahuan yang ada tentang sejarah, pola, proses, dan terjadinya pandemi."
Luo yang mendapatkam gelar PhD dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, itu menjelaskan, faktor perilaku berisiko tinggi dalam penyebaran virus. Dia menunjuk contoh individu yang abaikan protokol menghindari kontak fisik dan tak patuh penguncian wilayah atau karantina.
"Keterbatasan alami ekosistem juga berperan dalam memahami siklus hidup pandemi," katanya.
Studi juga menggunakan pemantauan prediktif--pemantauan terus menerus dari peristiwa yang diperkirakan akan datang--menggunakan data terbaru yang dihasilkan dari waktu ke waktu. Jika pemantauan itu dilakukan dengan benar, kata Luo, bisa mengurangi kecemasan dan mempersiapkan menghadapi fase selanjutnya dari evolusi epidemi.
"Terlepas dari apakah itu akan membaik atau memburuk, pemerintah dan perusahaan akan mendapat informasi di masa depan, serta bersiap dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang lebih proaktif."
Menurut Luo, banyak data hari ini berfokus pada pelaporan harian infeksi, pemulihan, dan tingkat kematian, yang hanya mengarah pada kebijakan dan tindakan yang reaktif dan pasif. Namun studinya juga masih memiliki keterbatasan, karena sifat pandemi yang terus berkembang.
Luo juga menekankan bahwa optimisme berlebihan berdasarkan beberapa perkiraan tanggal akhir pandemi mungkin berbahaya karena kenyataannya adalah masa depan selalu tidak pasti. "Tidak ada juga yang pernah meramalkan wabah COVID-19 pada Oktober atau November 2019, meskipun Bill Gates terkenal memperingatkan tentang potensi kerusakan dari penyakit menular global kepada dunia di TED Talk pada 2015," kata Luo dalam makalah penelitiannya.
Sumber : tempo.co