SUKABUMIUPDATE.com - Gejala infeksi virus corona memang beragam dan berbeda pada masing-masing orang. Dilansir dari tempo.co, sebagian pasien COVID-19 menunjukkan gejala sakit berat dan sebagian lain hanya flu biasa, membuat infeksi virus corona sulit diprediksi.
Dilansir dari The Atlantic, pada awal Maret, seorang penulis berumur 37 tahun, F.T. Kola, merasa demam dan seluruh badannya sakit. Setelah mengisolasi diri di rumah selama sepekan, dia direkomendasi oleh dokter melakukan tes swab di Universitas Stanford.
Namun, keadaannya memburuk, yang ditandai dengan menggigil dan berhalusinasi. Dia berpikir ada sendok raksasa yang ingin dimasukkan ke dalam mulutnya. Setelah itu, dia dirawat di ICU selama tiga hari.
Selama itu, dia kadang merasa sakitnya berat tetapi terkadang tidak sama sekali. Kola keluar rumah sakit setelah dirawat dua pekan.
Berbeda lagi dengan rekannya, Karan Mahajan, yang terinfeksi COVID-19 di saat yang hampir bersamaan. Namun, ia hanya merasakan flu sedang yang berakhir dalam dua pekan. Berdasarkan studi baru dari Italia, sebanyak 43 persen orang yang terpapar virus ini tidak menunjukkan gejala.
Mereka akan menjadi sesak napas, jantung berdetak kencang, dan pikiran terlepas dari kenyataan. Mereka mengalami kegagalan organ dan menghabiskan berminggu-minggu di ICU, jika masih bertahan hidup. Robert Murphy, profesor obat dan direktur penyakit menular Universitas Northwestern, mengatakan banyak perbedaan pada setiap orang saat terkena virus.
“Itu sangat tidak biasa. Tidak satu pun dari variabilitas ini benar-benar cocok dengan penyakit lain yang biasa kami tangani,” ujarnya.
Seperti banyak diinformasikan, lansia dan memiliki riwayat penyakit akan lebih berisiko terpapar COVID-19. “Bukan virusnya, tapi jaringannya,” lanjutnya.
Ternyata, informasi tersebut masih jauh dari gambaran lengkap tentang siapa yang berisiko terkena penyakit yang mengancam jiwa ini. Uji klinis telah dilakukan terhadap sejumlah obat-obatan seperti remdesivir, ivermectin, dan hydroxychloroquine. Namun, dengan adanya penyakit flu dan virus lain, obat antivirus seringkali efektif hanya pada awal penyakit.
Begitu virus telah menyebar luas di dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh sendiri menjadi ancaman yang bisa membunuh. Respons itu tidak dapat sepenuhnya dikendalikan, tetapi dapat dimodulasi dan ditingkatkan.
Sumber : tempo.co