SUKABUMIUPDATE.com - Pengaruh faktor cuaca Indonesia terhadap upaya menangkal wabah virus corona COVID-19 telah menjadi perdebatan sejak awal virus itu dikhawatirkan menyebar dari Cina pada awal tahun ini. Dilansir dari tempo.co, sejumlah dokter meyakini cuaca tropis tak ramah virus corona itu--seperti halnya virus penyebab flu musiman, tapi para peneliti virus menolak mempercayainya begitu saja karena fakta virus yang masih misterius dan fakta infeksi virus yang sudah lebih dulu ditemukan di negara tetangga Indonesia.
Belakangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bergabung dengan keyakinan yang pertama. Menyatakan melakukan riset bersama Universitas Gadjah Mada (UGM), BMKG menilai kondisi cuaca atau iklim dan bahkan kondisi geografi kepulauan di Indonesia relatif lebih rendah untuk risiko berkembangnya wabah COVID-19.
Lalu kenapa ditemukan kasus infeksinya di Indonesia? Hingga saat artikel ini disiapkan terhitung setidaknya hampir 2.000 angka kasus infeksi dan 181 orang meninggal karenanya. Angka-angka itu diyakini sebagian kalangan sebenarnya jauh lebih besar lagi.
Tim peneliti gabungan BMKG-UGM menduga itu akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat. Tim merekomendasikan, apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial benar-benar dapat dibatasi disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam mitigasi atau mengurangi risiko penyebaran COVID-19.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati lewat siaran pers yang dibagikannya Sabtu, 4 April 2020, mengatakan bahwa riset tim diperkuat sebelas doktor di bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, Mikrobiologi, dan Kesehatan Masyarakat UGM. Mereka melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis, dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran COVID-19.
“Hasil kajian telah disampaikan kepada Presiden dan beberapa kementerian terkait pada 26 Maret 2020,” katanya.
Hasil kajian menunjukkan sebaran kasus COVID-19 saat outbreak gelombang pertama berada pada zona iklim yang sama yaitu pada posisi lintang tinggi atau wilayah subtropis. Kesimpulan sementara menyatakan bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.
Lalu, kondisi udara ideal untuk virus corona diketahui adalah temperatur sekitar 8-10 Celsius dan kelembapan 60-90 persen. Artinya dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi merupakan kondisi lingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran penyakit itu. Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur dan kelembapan relatif sudah cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19.
Penelitian lain juga menemukan penyebaran optimum COVID-19 pada suhu yang sangat rendah 1–9 Celsius. Artinya semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus COVID-19 harian akan semakin rendah.
"Serupa dengan virus influenza, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering. Kondisi udara seperti itu juga dapat melemahkan host immunity seseorang dan mengakibatkan kerentanan terhadap virus," bunyi hasil riset.
Peneliti yang memprediksi dengan model matematis dan memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya juga menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut. Model yang sama juga menjelaskan bahwa terhambatnya penyebaran virus dikarenakan kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil.
"Akibatnya penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat."
Sayangnya, semua itu bukan penentu jumlah temuan kasus infeksi terutama setelah outbreak gelombang kedua. Tim BMKG-UGM menyatakan meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial.
Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27-30 derajat Celsius dan kelembapan udara berkisar antara 70–95 persen sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19. Namun fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020.
Sumber: Tempo.co