SUKABUMIUPDATE.com - Banyak informasi beredar menyatakan bahwa virus penyebab COVID-19 sengaja dibuat atau produk rekayasa laboratorium. Dilansir dari tempo.co, hasil studi yang hasilnya telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine terbaru membantahnya dengan kesimpulan bahwa virus corona baru itu adalah buah proses evolusi alami.
Studi dipimpin oleh Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute di La Jolla, California, Amerika Serikat. Dia menjelaskan, sejak awal wabah COVID-19, para peneliti telah menguliti asal-usul virus penyebab pneumonia itu dengan menganalisis data urutan genomnya.
"Dengan membandingkan data urutan genom jenis-jenis virus corona yang sudah diketahui, kami dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," ujar Andersen, seperti dikutip laman Medical News Today, 20 Maret 2020 lalu.
Telah sejak awal, para ahli mengaitkan virus dengan pasar makanan laut di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Makalah-makalah penelitian yang ada menduga bahwa virus tersebut mungkin telah menyebar ke manusia dari mamalia yang diperdagangkan secara ilegal.
Untuk menentukan asalnya, para peneliti membandingkan 'backbone' SARS-CoV-2 dengan virus lain yang biasa menginfeksi kelelawar dan trenggiling. Mereka melakukannya dengan menggunakan data urutan genetik yang disediakan oleh para ilmuwan Cina.
Andersen dan tim juga mengamati protein paku--fitur yang digunakan virus corona untuk mengikat membran sel manusia atau hewan yang mereka infeksi. Tim melihat kepada dua komponen pada protein paku itu yakni domain pengikat reseptor (RBD) yang menempel pada sel inang sehat, dan sebuah belahan yang berperan membuka virus dan memungkinkannya menembus sel yang diinfeksi.
Untuk mengikat sel manusia, protein paku membutuhkan reseptor pada pada sel manusia itu yang disebut angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2). Para ilmuwan menemukan bahwa domain pengikat reseptor dari protein paku telah berevolusi menarget ACE2 begitu efektif, yang ini hanya bisa terbentuk dari hasil seleksi alam dan bukan rekayasa genetika.
Selain itu, struktur molekul 'backbone' SARS-CoV-2 juga mendukung temuan ini. Jika virus corona baru itu hasil rekayasa genetik, kata para peneliti, titik awal penelitian kemungkinan adalah 'backbone' pada virus lain dalam keluarga corona.
Namun, yang didapati, 'backbone' SARS-CoV-2 sangat berbeda dari virus corona lainnya. Dia paling mirip dengan virus pada kelelawar dan trenggiling. "Kedua fitur virus ini--mutasi pada bagian RBD dari protein paku dan backbone'--yang berbeda mengesampingkan manipulasi laboratorium sebagai potensi asal SARS-CoV-2," kata Andersen.
Josie Golding dari Wellcome Trust, badan amal penelitian yang berbasis di London, Inggris, menilai temuan itu sangat penting untuk menegaskan pandangan berbasis bukti, bukan rumor, untuk menjelaskan asal-usul virus yang menyebabkan COVID-19. "(Para penulis) menyimpulkan bahwa virus adalah produk dari evolusi alami. Ini mengakhiri spekulasi tentang rekayasa genetika yang disengaja."
Selanjutnya, para peneliti menjelaskan bahwa hasil mereka memiliki implikasi yang mungkin bisa menjelaskan bagaimana virus berasal. Dalam hasil studi tertulis skenario pertama, virus berevolusi menjadi patogen pada hewan, kemudian melompat ke manusia yang sejalan dengan bagaimana virus corona lainnya, seperti dari mana SARS dan MERS berasal.
Untuk virus corona baru, penulis menduga bahwa kelelawar adalah satwa pembawa yang paling mungkin, karena SARS-CoV-2 sangat mirip dengan virus corona kelelawar. Para ahli lain juga mendukung teori ini. Andersen dan rekannya juga menyarankan bahwa ada kemungkinan hewan inang perantara lain menularkan virus dari kelelawar ke manusia.
Hipotesis ini juga menjelaskan mengapa virus menyebar begitu cepat. Ini menunjukkan bahwa dua fitur khas protein paku SARS-CoV-2 akan membuatnya mampu menimbulkan kekacauan sebelum memasuki manusia.
Skenario kedua, virus bersifat non patogenik pada hewan, tapi melompat ke manusia dan berevolusi menjadi penyebab penyakit. Skenario ini mendukung teori yang menempatkan trenggiling pada awal wabah karena protein paku beberapa virus corona dari trenggiling memiliki struktur RBD yang sangat mirip dengan yang ada pada SARS-CoV-2. Namun, penulis mengingatkan bahwa tidak mungkin mengatakan skenario mana yang lebih benar di antara keduanya pada saat ini.
Sumber : tempo.co