SUKABUMIUPDATE.com - Film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix mencuri perhatian publik, dari cerita maupun akting para pemerannya. Film yang sedang tayang di bioskop di Indonesia ini termasuk kategori R (restricted). Artinya, film ini adalah film dewasa yang berisi konten kekerasan. Film dengan rating R, hanya boleh ditonton mereka yang berusia 17 tahun ke atas.
Beberapa orang tua mengira film joker ini adalah sebuah film superhero. Padahal, cerita film ini lebih menitikberatkan pada penyakit mental dan latar belakang seorang tokoh antagonis, serta kekerasan yang mengelilinginya. Lantas, bagaimana pengaruhnya jika anak terpapar konten kekerasan?
Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara konten kekerasan pada perilaku anak. Hasilnya, paparan konten kekerasan yang diterima anak, dapat memicu berbagai kondisi fisik maupun mental pada anak, seperti perilaku agresif, perilaku kasar, bullying, ketidakpekaan terhadap kekerasan, ketakutan, depresi, mimpi buruk dan gangguan tidur.
Film Joker adalah film dewasa, yang berisi banyak adegan kekerasan. Karakter Arthur, yang merupakan cikal bakal sang penjahat, adalah sosok yang disebut memiliki beberapa kondisi mental, yang kerap menerima kekerasan secara fisik maupun mental oleh orang-orang di sekitarnya. Latar belakang cerita film ini begitu gelap dan sesak untuk ditonton seorang anak. Itulah alasannya, film Joker diberi rating R. Film ini memang terlalu berisiko untuk dicerna seorang anak.
Di usia anak-anak, otak bisa diibaratkan seperti spons, yang mampu menyerap berbagai informasi, tanpa kemampuan memilah yang memadai. Anak akan terpengaruh oleh tontonannya, karena anak belajar dengan cara observasi, imitasi, dan adopsi perilaku. Anak yang berusia kurang dari delapan tahun, belum bisa membedakan, kenyataan dari dunia khayalan. Sehingga di usia-usia ini, anak sangat “rapuh” dan berisiko terkena dampak dari kekerasan yang ditontonnya.
Hal ini senada dengan salah satu hasil penelitian yang dilakukan untuk melihat dampak penggunaan pistol di film dengan ketertarikan anak dengan senjata ini. Hasilnya, anak yang menonton film yang memiliki adegan menembakkan pistol, lebih tertarik memainkan senjata ini, dibandingkan dengan yang tidak menontonnya. Anak yang menontonnya, juga jauh lebih banyak yang menarik pelatuk saat memainkannya. Sementara itu, tidak satu pun anak yang tidak menonton film itu, yang menarik pelatuknya.
Dampak menonton film Joker pun tidak hanya terasa pada anak-anak. Orang-orang dewasa, terutama yang memiliki riwayat penyakit mental, merasa film ini bisa menjadi trigger atau pemicu munculnya kembali kondisi mental mereka, seperti gangguan kecemasan dan depresi.
Lalu, apakah setiap anak yang menonton film Joker pasti akan menerima dampak yang serupa? Belum tentu. Namun sebaiknya, risiko tersebut tetap dihindari, bukan? Untuk membatasi anak dari paparan konten-konten yang tidak sesuai dengan usianya, berikut ini langkah yang bisa Anda lakukan.
1. Jangan berikan akses Internet, televisi, maupun video game di kamar anak. Berikan akses tersebut di ruang keluarga, maupun tempat lain yang lebih mudah diawasi.
2. Dampingi anak saat ia ingin menonton film atau acara televisi tertentu.
3. Batasi waktu menonton, hanya 1-2 jam per hari.
4. Jauhkan anak yang berusia di bawah 2 tahun, dari paparan tontonan, baik film maupun acara televisi.
5. Jelaskan kepada anak secara jujur bahwa menonton film kekerasan tidak sehat untuk anak Anda.
Perlu diingat, untuk anak berusia di bawah dua tahun, bahkan konten yang disebut konten edukasi pun belum tepat untuk diberikan. Stimulasi terbaik yang bisa didapatkan anak adalah dengan berinteraksi secara langsung dengan orang-orang di sekitarnya.
Sumber: Tempo.co