SUKABUMIUPDATE.com - Kondisi Candi Borobudur sudah semakin aus, terutama di tempat yang sering diinjak oleh pengunjung, kata Marsis Sutopo, tim ahli Cagar Budaya Nasional dan Asesor Cagar Budaya
"Sementara, jumlah pengunjung ke candi itu tidak dibatasi," kata Marsis dalam diskusi “Reorganisasi Pengelolaan Kawasan Candi Borobudur” di Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin, 30 September 2019.
Kerusakan candi bisa diminimalisir jika pemanfaatan untuk pariwisata tetap mempertahankan aspek pelestarian. Dua aspek ini memang sudah berjalan tetapi belum ada sinkronisasi dan harmonisasi.
“Aspek keseimbangan itu perlu ditingkatkan lagi, tetapi karena koordinasi dan harmonisasi belum berjalan secara optimal sehingga kadang kala menjadi kekhawatiran dari pihak-pihak pemerhati pelestarian (candi),” kata Marsis.
Peninggalan nenek moyang ini ternyata setelah 1200 tahun dibangun, mendatangkan banyak manfaat tapi juga masalah. Mendatangkan banyak manfaat karena menjadi destinasi wisata. Setiap tahun dapat mendatangkan jutaan wisatawan nusantara maupun mancanegara. Bahkan sekarang sudah ditetapkan menjadi salah satu dari sepuluh Bali Baru sesuai kebijakan pengembangan pariwisata nasional.
Ia menyatakan, Candi Borobudur dibangun pada sekitar abad VIII - IX Masehi, yang kemudian ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya pada sekitar awal abad XI Masehi, ditemukan kembali pada tahun 1814. Lalu dipugar pertama kali pada tahun 1907-1911, kemudian dipugar lagi secara besar-besaran pada 1973-1983 sampai menjadi kondisinya sekarang ini.
Candi Borobudur akan dijadikan sebagai destinasi wisata super prioritas bersama dengan Danau Toba, Labuan Bajo, dan Mandalika.
Namun, seiring dengan manfaat yang telah diberikan oleh Candi Borobudur kepada dunia pariwisata secara bersamaan juga membawa masalah dalam pelestariannya.
“Untuk menyeimbangkan antara kepentingan pelestarian dan pariwisata tentunya memerlukan tata kelola yang dapat mengakomodasi semua kepentingan secara seimbang,” kata dia.
Candi Borobudur yang ditetapkan sebagai World Heritage pada 1972 ini sebenarnya hanya bisa menampung 128 orang (faktor pemulihan). Namun nyatanya tanpa faktor pemulihan menampung 1.391 orang (dalam waktu bersamaan).
Ia mencontohkan, dalam satu waktu bersamaan dibatasi dua jam, maka jika sehari itu 12 jam sehingga jumlah pengunjung yang bisa naik ke candi hanya 128 orang dikalikan enam. Ini sebagai contoh pembatasan jumlah pengunjung yang naik ke candi.
Kunjungan wisatawan ke candi itu pada 2017 mencapai 3,9 juta orang.Wisatawan terakumulasi di candi, yaitu di zona 1, dan zona 2.
“Dalam jangka panjang mengancam kelestarian candi,” kata Marsis.
Ia menambahkan, kerusakan paling kelihatan adalah keausan batu candi. Di tangga dan tempat-tempat yang sering diinjak pengunjung. Ketika dipijak pasti ada tekanan. Baik ketika naik maupun ketika pengunjung turun.
“Itu sudah menjadi kenyataan kerusakan. Itu yang menjadi salah satu pertimbangan kenapa jumlah orang naik candi harus dibatasi,” kata Marsis.
Sedangkan zona 3, 4, 5 belum dikelola dengan baik. Padahal zona ini dapat dijadikan sebagai Heritage Action Zone.
Lagi pula, candi-candi di sekitar kawasan Borobudur (Kab Magelang) belum dikelola optimal. Seharusnya menjadi satu kesatuan sebagai destinasi wisata dengan Candi Borobudur.
Ia menyatakan, potensi budaya masyarakat setempat belum dikembangkan secara optimal untuk pemajuan kebudayaan dan daya tarik wisata. Perlu pembinaan untuk peningkatan kualitas. Budaya kreatif masyarakat untuk mendukung aktivitas wisata masih kurang.
“Masyarakat lokal banyak yang menjadi pengasong. Pengelolaan wisata Borobudur masih terfragmentasi. Satu lokasi banyak pihak,” katanya.
Untuk membatasi jumlah orang yang naik ke candi dalam waktu bersamaan, ada usulan salah satu solusi. Misalnya tarif naik candi lebih mahal daripada harga tiket yang tanpa naik ke candi.
Selain itu desa-desa di sekitar uang sudah dibentuk balkondes atau Balai ekonomi desa sebagai wahana pengetahuan soal Candi Borobudur. Kawasan dan masyarakat yang ada di zona tiga ini harus siap. Di balkondes sudah diberitahu dan diberikan edukasi tentang candi peninggalan zaman Wangsa Syailendra itu.
Soal sinkronisasi pengelolaan candi, saat ini sangat diperlukan. Para pengelola adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PT Taman Wisata Candi (BUMN) dan pemerintah daerah. Masing-masing pihak memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda.
Prinsip pengelolaan Candi Borobudur, kata dia meliputi pelestarian yaitu perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pelestarian Candi Borobudur bersatu dan terikat dengan lingkungan budayanya
(cultural landscape). Pelestarian untuk dan oleh semua pihak, pelestarian budaya tangible dan intangible serta pelestarian berwawasan kemanfaatan yang terintegrasi.
“Perlu pengelolaan yang terpadu (satu atap manajemen) yang sinergis antar pihak sehingga kawasan Candi Borobudur tetap lestari dan memberikan manfaat kepada banyak pihak. Yaitu masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha,” kata alumnus jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada ini.
Jumlah kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur terus meningkat. Jika pada 2017 ada sebanyak 3,9 juta wisatawan, maka pada 2018 semakin banyak lagi.
“Kunjungan wisatawan pada 2018, wisatawan nusantara sebanyak 3.699.893. Wisatawan mancanegara sebanyak 308.784. Total 4.008.677,” kata Nanik Lestari, humas PT Taman Wisata Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko.
Sumber: Tempo.co