SUKABUMIUPDATE.com - Hasil pemotretan satlet NASA terhadap karhutla di Indonesia menghasilkan gambar nyala api hampir tidak terlihat karena tertutup selimut tebal kabut asap.
Gambar luar biasa ini diambil pada 15 September 2019, ditangkap oleh Moderror Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Aqua NASA, demikian siaran pers NASA Earth Observatory.
"Kebakaran gambut adalah hal biasa di Kalimantan saat ini, tapi petani membakar puing-puing pertanian dan penebangan untuk membersihkan lahan terutama untuk menanam kelapa sawit dan akasia untuk pulp," demikian Earth Observatory NASA.
Laman Eather Gizmodo, baru-baru ini, menyebutkan, hingga akhir pekan lalu, lebih dari 4.000 titik panas diidentifikasi di Indonesia, dengan sebagian besar terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera. Asap yang dihasilkan kebakaran mengakibatkan ditutupnya sekolah, gangguan di bandara, peringatan kualitas udara, dan peringatan kesehatan, baik di Indonesia dan daerah sekitarnya.
Kalimantan dikenal dengan endapan gambutnya yang luas. Sekali terbakar, api di lahan gambut sulit untuk dipadamkan. Perlahan membara di bawah permukaan, kobaran api bawah tanah ini bertahan selama berbulan-bulan sampai kedatangan musim hujan.
Gambar yang diambil pada 15 September 2019 oleh Operational Land Imager (OLI) pada satelit Landsat 8 menunjukkan kebakaran yang terjadi di beberapa area kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Gambar yang diambil dalam gelombang pendek-inframerah dan warna alami menunjukkan di mana api aktif terbakar.
Dilansir The Guardian, asap menjadi sangat buruk sehingga pemerintah Malaysia, yang terletak ratusan mil jauhnya, mengirim surat ke Indonesia, menuntut agar mengambil tindakan segera untuk memadamkan api. Malaysia mencoba menyingkirkan kabut asap dengan menaburkan bahan kimia dari pesawat dengan harapan memicu hujan.
Kebakaran hutan dan lahan gambut Indonesia pertama kali terdeteksi pada bulan Agustus, dan terus meningkat dalam beberapa minggu terakhir. "Itu mengingatkan kita pada 2015," ujar Robert Field, ilmuwan di Institut Goddard NASA untuk Studi Luar Angkasa.
Faktor iklim tentu saja menjadi penyumbang kebakaran ini. Kembali pada 1997 dan 2015, kondisi seperti kekeringan yang memperburuk kebakaran ini disebabkan oleh El Nino. Meskipun tahun ini tanpa El Nino, karhutla kali ini didorong oleh hembusan udara kering dari Samudera Hindia dan juga faktor manusia.
Sumber: Tempo.co