SUKABUMIUPDATE.com - Profesor Riset Astronomi-Astrofisika yang juga Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengomentari wacana waktu salat subuh yang salah. Wacana itu bergulir kembali setelah menjadi isu tahunan.
Menurutnya, ada perbedaan cara dari hasil penghitungan. ”Ada perbedaan cara memahami data,” kata anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama itu, Rabu, 8 Mei 2019.
Wacana tentang waktu subuh sebelumnya dipicu oleh saat fajar mulai menguning. Sekarang ada lembaga yang menilai waktu subuh sekarang terlalu cepat rata-rata sekitar 26 menit.
Menurut Djamaluddin, ada pihak yang hanya memandang dari aspek matematis, tanpa memahami fisisnya. “Secara astronomi perlu dipahami aspek fisisnya, termasuk efek gangguan dari polusi cahaya dan keberadaan awan di ufuk.”
Djamaluddin mengatakan waktu subuh adalah saat fajar shadiq yang pertama, berwarna putih, bukan fajar yang berwarna kuning. Petunjuk itu sesuai sunah Nabi Muhammad SAW. “Itu menunjukkan bahwa waktu subuh memang masih gelap, tetapi fajar sudah tampak di ufuk timur. Warnanya masih putih lembut,” katanya.
Sementara fajar di Indonesia dinilai wajar lebih awal muncul karena atmosfer ekuator lebih tinggi. Waktu subuh disebutnya termasuk fajar astronomi, saat cahaya bintang-bintang mulai meredup karena munculnya hamburan cahaya di ufuk timur.
Fajar astronomi terjadi saat matahari berada pada posisi -18 derajat rata-rata. Fajar itu terjadi karena hamburan cahaya matahari oleh atmosfer atas. Di wilayah ekuator, atmosfernya lebih tinggi dari daerah lain, sehingga wajar bila fajar terjadi ketika posisi matahari -20 derajat.
Waktu subuh itu juga semestinya diukur dalam kondisi langit cerah dan bebas polusi cahaya. Penelitian waktu subuh yang objektif harus menggunakan alat ukur cahaya langit. Metode yang biasa digunakan adalah dengan teknik fotometri atau pengukuran kuat cahaya.
Cara lain dengan alat ukur cahaya langit, misalnya SQM (Sky Quality Meter). “Persyaratan teknik fotometri ini, langit harus benar-benar bersih dari awan, polusi udara, dan polusi cahaya,” katanya.
Awan tipis dan polusi udara bisa menghalangi cahaya fajar di ufuk Timur, sehingga fajar astronomi yang putih tipis tidak tampak. Sementara fajar yang agak kuning akan tampak saat matahari mulai meninggi.
Polusi cahaya juga sangat mengganggu pengamatan fajar. Pengukuran fajar dengan SQM dari tengah kota dengan polusi cahaya yang cukup kuat bisa mengecoh, sehingga menyimpulkan fajar yang lebih lambat.
Sumber: Tempo