SUKABUMIUPDATE.com - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fadjar Ibnu Thufail memprediksi proyek Society 5.0 yang digadang-gadang Perdana Menteri Jepang Shinjo Abe akan gagal seperti Cool Japan.
“Kini Cool Japan jadi tragedi dan masuk kuburan,” kata Fadjar, peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI pada diskusi bertema Japan Society 5.0 yang berlangsung di gedung LIPI Jakarta, Jumat 8 Maret 2019.
Ketika berpidato pada konferensi internasional CeBIT (Centrum der Büroautomation und Informationstechnologie und Telekommunikation) di Jerman, tahun 2017, PM Shinjo Abe mengumumkan proyek Japan Society 5.0.
Shinjo Abe menjelaskan bahwa Society 5.0 berbeda dengan proyek Industry 4.0 yang digagas Pemerintah Jerman (tahun 2010), proyek E-estonia – ID Card oleh Pemerintah Estonia (2000), Industrial Internet milik Pemerintah Amerika Serikat (2012) atau proyek Singapore Smart Nation (2014).
Perbedaannya pada penggunaan teknologi maju untuk mendukung kehidupan sehari-hari warga Jepang. Bukan hanya untuk dunia industri atau infrastruktur perekonomian seperti dilakukan Jerman, Amerika, Singapura dan negara lainnya.
Dalam Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Swiss, pada 23 Januari 2019, Shinzo Abe kembali menjelaskan visi baru Jepang, Society 5.0.
Society 5.0, menurut Kantor Kabinet Jepang, didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik.
“Di Society 5.0, itu bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung. Layanan kedokteran dan pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, akan mencapai desa-desa kecil di wilayah Sub-Sahara," ujar Shinzo Abe. “Tugas kita jelas. Kita harus membuat data sebagai penghambat kesenjangan yang besar,” katanya lagi.
Irin Oktafiani, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menjelaskan latar belakang Society 5.0 berangkat dari kekhawatiran Pemerintah Jepang terhadap kondisi masyarakatnya yang semakin menua (aging society). Sekitar 26,3 persen penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun, sementara pertumbuhan penduduk relatif rendah.
Melalui proyek Society 5.0 warga lanjut usia Jepang diharapkan menggunakan teknologi artificial intellegent (AI), Internet of Things (IoT), imachine learning, big data dan sebagainya untuk membantu kehidupannya.
Menurut Fadjar, Society 5.0 tidak menyelesaikan masalah bagi warga Jepang yang lanjut usia. “Society 5.0 tidak seindah yang dibayangkan orang,” ujarnya. Dia memprediksi proyek itu akan bernasib seperti Cool Japan.
Pada 1990-an, Jepang yang sedang menikmati gelembung ekonomi mulai galau dengan hadirnya pesaing baru di Eropa dan Korea Selatan. Produk-produk otomotif dan elektronika Jepang mulai tersaingi. Pada sisi lain, Negara Matahari Terbit itu tidak kaya akan sumber daya alam.
Akhirnya mereka mencanangkan proyek Cool Japan yang mendorong industri kreatif. Mereka meniru Inggris yang maju dalam sektor industri kreatif. Japan Foundation memasarkan kehebatan Cool Japan ke seluruh dunia.
Dalam perjalanannya, Cool Japan tidak berjalan sukses. Banyak konten yang dikerjakan pihak luar (outsourcing). Dukungan Pemerintah Jepang tidak maksimal. Editorial di harian Yomiuri Shimbun pada tahun 2010 menyatakan Pemerintah Jepang tidak berbuat cukup dalam memajukan kepentingan bisnis negara, membiarkan munculnya Korea Selatan sebagai kompetitor.
Editorial koran terbesar di Jepang tersebut juga menyoroti inefisiensi struktural dengan adanya Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri mempromosikan Cool Japan, sementara Kementerian Luar Negeri mengurusi pertukaran budaya, dan Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan mengurusi promosi makanan Jepang.
Roland Kelts, dosen Temple University menjelaskan bahwa kegagalan sepenuhnya dalam hal membedakan, memberi merek, dan mengikutsertakan partisipan dan pasar di luar Jepang, dimana ini dapat berarti ‘tamatnya’ Cool Japan.
Fadjar Thufail mengatakan Society 5.0 menghadapi dua masalah mendasar, yaitu interface dan kultural. Pada masalah yang kedua terkait dengan struktur hierarki di perusahaan Jepang. Pengambilan keputusan harus dikonsultasikan ke atasan, teman sejawat dan pihak lainnya.
Society 5.0 mencoba menerobos atau melakukan inovasi. Apakah berhasil? “Sulit, karena kulturnya sudah seperti itu,” kata Fadjar.
Dia mencontohkan anime gundam yang variasi aktor atau figurnya tidak berubah-ubah. Hanya disainnya yang berubah dan pengulangannya saja. Orang-orang tua yang menjadi sasaran Society 5.0 sulit melakukan inovasi dalam hal anime gundam.
Menurut Fadjar, warga lanjut usia Jepang bingung diberi ponsel canggih yang memiliki banyak aplikasi. Mereka terbiasa memakai ‘ponsel Galapagos’ atau flip-telepon yang tidak diproduksi lagi di luar Jepang.
Fadjar Thufail pernah meneliti di Sendai, salah satu provinsi yang paling parah terkena dampak gempa dan tsunami tahun 2011. Orang-orang lanjut usia mematikan ponselnya ketika tidur. Padahal di telepon genggamnya itu ada aplikasi yang akan membunyikan alarm ketika gempa besar terjadi.
“Mengganggu tidur,” ujar mereka kepada Fadjar. Sebagian warga Jepang yang lanjut usia juga kesulitan menggunakan QRcode.
Menurut Fadjar, Society 5.0 tidak menyelesaikan masalah bagi warga Jepang yang lanjut usia. “Society 5.0 tidak seindah yang dibayangkan orang dan akan berakhir seperti Cool Japan,” ujarnya.
Sumber: Tempo