SUKABUMIUPDATE.com - Sebulan lebih setelah tsunami Selat Sunda, penyebabnya belum juga diketahui secara pasti. Para ahli dan peneliti masih simpang siur menduga penyebabnya dengan beragam teori dari sudut pandang keilmuan. Koleksi data lapangan pun belum banyak mengungkap misteri tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018.
Gunung Anak Krakatau di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, setelah erupsi 19 Februari 2017, kembali meningkat aktivitas vulkanisnya sejak 18 Juni 2018. Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) mencatat puncak-puncak letusannya terhitung dari September hingga November 2018. Di sela erupsinya pada 22 Desember lalu, muncul tsunami yang menelan korban jiwa di Banten dan Lampung.
Diskusi ilmiah populer oleh Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) di kampus Institut Teknologi Bandung pada Selasa, 29 Januari 2019, belum berhasil mengerucutkan apa penyebab tsunami itu. “Apa yang terjadi pada 22 Desember? Data yang ada masih samar-samar menurut saya,” kata pakar gempa Danny Hilman Natawidjaja di tengah diskusi.
Secara umum, dugaan penyebab tsunami dalam diskusi setengah hari itu terpencar tiga. Pertama akibat lava panas yang masuk ke laut lalu menimbulkan ledakan hingga menghasilkan tsunami.
Pakar tsunami ITB Hamzah Latief mengatakan, keterangan saksi warga mendengar adanya suara ledakan sebelum muncul gelombang tinggi air laut. “Dari sisi tsunami pada 1927-1930 suka ada tsunami kecil-kecil yang dilepas, kemungkinan karena bertemunya benda panas dengan air,” ujarnya.
Dugaan kedua, akibat longsoran tubuh gunung Anak Krakatau, seperti dilansir Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Namun faktor ini masih banyak mengundang pertanyaan, misalnya soal berapa volume longsoran, jarak luncuran, dan lebar longsorannya.
Selain itu, menurut citra satelit, pada 23 Desember siang tubuh gunung berkurang sedikit. “Kami kaget setelah 26-27 Desember citra satelit memperlihatkan tubuh Gunung Anak Krakatau sudah habis,” kata Kristianto. Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat PVMBG itu memperkirakan terjadinya longsoran besar itu pada 25-27 Desember 2018.
Faktor ketiga dikaitkan dengan gempa tektonik. “Antara tektonik, longsoran, atau dinamika geologi di bawah. Mungkin tanggal 22 Desember itu ada sesuatu,” kata Hendra Gunawan dari Badan Geologi.
Sumber: Tempo