SUKABUMIUPDATE.com - Peneliti gunung api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Mamay Surmayadi, mengatakan sempat melihat langsung kondisi Gunung Anak Krakatau saat menumpang helikopter bersama rombongan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu, 13 Januari 2019.
Helikopter yang ditumpanginya sempat terbang dengan jarak sekitar 100 meter dari kawah Gunung Anak Krakatau. “Betul, pakai heli,” kata dia saat dihubungi Tempo, Senin, 14 Januari 2019.
Mamay mengatakan pusat erupsi Gunung Anak Krakatau saat ini berbentuk danah kawah, bagian dari cowak atau bentuk tapal kuda yang bagian ujungnya sudah menyatu. “Secara umum itu danau. Kalau istilah geologinya yang umum itu kawah maar, itu kawah yang berair. Posisi erupsinya sekarang di situ,” kata dia.
Menurutnya, air dalam kawah tersebut bisa mengering bersama erupsi, dan bisa juga kembali terisi air. “Kalau misalkan terjadi letusan, kemudian airnya habis, bisa kering. Tapi kalau terisi lagi, misal oleh ombak besar masuk situ, air hujan, kembali lagi terisi air. Itu tergantung kondisi meteorologinya,” kata dia.
Serangkaian letusan Gunung Anak Krakatau sejak 22 Desember 2018 hingga 26 Desember 2018 lalu menyisakan kawah berbentuk tapal kuda yang saat itu pada bagian terbukanya terisi oleh air. “Kalau kata orang sunda, itu ‘cowak’, ada bentuk tapal kuda yang membuka ke arah barat,” kata Mamay.
Hingga tanggal 1 Januari 2019, erupsi Gunung Anak Krakatau masih terjadi di bawah permukaan air. Namun serangkaian letusan yang terjadi sempat memunculkan kerucut kecil di tengah teluk berbentuk tapal kuda tersebut. Endapan material sisa letusan menyebabkan bagian ujung tapal kuda tersebut bersatu menyisakan bentuk lingkaran di bagian tengahnya.
“Kondisi sejak tanggal 9 Januari 2019, terbentuk semacam kawah berair, yang sudah terisolir (dari laut). Kalau dulu dari bentuk cekungan tapal kuda itu berair sampai ke laut, sejak tanggal 9 Januari sampai sekarang, terisolir sebuah kawah yang terpisah dari laut,” kata Mamay.
Mamay mengatakan saat dirinya ikut terbang dengan helikopter mendekati Gunung Anak Krakatau, pemandangan masih belum berubah. “Kondisi sampai kemarin kami terbang, itu masih seperti begitu. Kami hitung diameter kawahnya itu kurang lebih 400 meter. Dengan luasan kawah sekitar 12 hektare,” kata dia.
Selain itu, luas Pulau Gunung Anak Krakatau juga relatif mengecil. Sebelum tsunami, luas pulau itu menembus 390 hektare. “Berdasarkan analisa citrarsatelit sampai kemarin tanggal 13 Januari 2019, luasnya kurang lebih 320 hektare luas Pulau Gunung Anak Krakatau. Makin mengecil karena sudah da pengurangan dari yang terlongsorkan, kemudian pengurangan dari hasil letusan tanggal 26 Desember 2018,” kata dia.
Perairan di sekitar Gunung Anak Krakatau di depan bukaan kawah tapal kuda tersebut memiliki air laut kontras berwarna cokelat. Mamay mengatakan, warna cokelat itu berasal dari abu dan material letusan Gunung Anak Krakatau yang terbawa aliran air menuju laut. “Itu material sedimen. Tidak berbahaya. Itu dari material gunung api, bukan dari polusi industri. Hanya abu gunung saja. Itu alamiah,” kata dia.
Mamay mengatakan, abu yang dihasilkan erupsi Gunung Anak Krakatau sebagian menumpuk di tubuh gunung api, sebagian jatuh ke laut. “Yang menumpuk di atas gunung, terbawa air hujan. Kemudian (mengalir) ke air (laut), itu menjadi suspended-material. Jadi itu material abu yang mengambang di permukaan laut,” kata dia.
Mamay mencontohkan, warna cokelat di laut di dekat muara sungai. “Analoginya, sering kita melihat muara sungai. Air dari sungai yang keruh, masuk ke laut, itu kelihatan cokelat-cokelat karena berasal dari sungai. Itu material sedimen,” kata dia.
Sumber: Tempo