SUKABUMIUPDATE.com - Sudah lewat dua hari setelah rentetan gempa Selat Sunda, Kamis sore, 10 Januari 2018. Namun, penyebabnya masih terselubung misteri. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) belum mengetahui penyebab pastinya. Sementara pendapat para ahli terbelah, antara aktivitas tektonik dan vulkanik.
Sebelumnya diberitakan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mencatat rentetan belasan gempa di Selat Sunda, Kamis sore, 10 Januari 2019. Lokasi sumber gempa beruntun itu berada dalam radius 36,5 km dari Gunung Anak Krakatau. "Penyebabnya belum tahu. Masih misteri," kata Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, Kamis malam, 10 Januari 2019.
Pada Kamis, 10 Januari 2019 di wilayah Selat Sunda terjadi aktivitas gempa beruntun sebanyak 11 kali. Besaran magnitudonya beragam, mulai dari 3,1, kemudian M=3,0, M=3,1, M=3,3, M=3,3, M=3,9, M=4,1, M=3,5, M=4,0, M=2,8 dan M=2,8. Meskipun besarannya beragam, kedalaman titik sumber gempanya seragam, yaitu satu kilometer. Waktu kejadian rentetan gempa itu mulai 16.59-18.35 WIB. Aktivitas gempa ini berada dalam radius 36.5 km dari Gunung Anak Krakatau.
Hasil monitoring BMKG melalui Tide Gauge milik Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Water Level milik BMKG menunjukkan hingga pukul 18.35 WIB aktivitas gempa tersebut tidak menyebabkan peningkatan ketinggian muka air laut (tsunami) di sepanjang pantai Selat Sunda. Aktivitas rentetan gempa tersebut terdeteksi di tujuh stasiun seismik milik BMKG yakni di Tangerang, Serang, Cigeulis, Muara Dua, Bandar Lampung, Sukabumi, dan Liwa.
Vulkanolog dari Universitas Padjadjaran, Teuku Yan W. M. Iskandarsyah mengatakan, gempa beruntun seperti itu merupakan fenomena yang biasa terjadi ketika aktivitas erupsi gunung api masih berlangsung dan meningkat intensitasnya. "Getaran seperti itu dapat dihasilkan magma yang sedang bergerak dari bawah Anak Krakatau," katanya, Sabtu, 12 Januari 2019. Radius dapur magmanya ada kemungkinan sama dengan lokasi aktivitas gempa yang terekam.
Namun, ternyata aktivitas Gunung Anak Krakatau tercatat sedang menurun. "Ini yang jadi misteri sebenarnya, juga kapan kemungkinan letusan yang mematikan dapat terjadi," ujar Yan. Menurut dia, Gunung Anak Krakatau menunjukkan bentuk tubuh gunung api yang berbeda saat ini, tapi juga masih berpotensi untuk meletus dahsyat. "Karena kita tidak tahu sifat magmanya saat ini seperti apa," kata Yan.
Dugaan gempa akibat aktivitas magma atau terkait dengan Gunung Anak Krakatau (vulkanik) itu senada dengan vulkanolog ITB Mirzam Abdurrachman. Menurut Mirzam, kekuatan gempa vulkanik tidak besar. "Umumnya di bawah magnitude 5, rata-rata M=2 sampai 3," ujarnya. Gempa vulkanik di Selat Sunda yang beruntun itu bisa terjadi karena pergerakan magma ke level yang lebih dangkal atau naik dan menghasilkan rekahan kemudian tercatat sebagai gempa.
Berbeda dengan itu, Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kristianto, mengatakan, penyebab rentetan gempa itu akibat aktivitas tektonik. "Kalau dari data kami merupakan gempa tektonik lokal," ujarnya Sabtu, 12 Januari 2019. Gempa tektonik lokal itu diakibatkan oleh aktivitas struktur patahan atau sesar lokal di sekitar Gunung Anak Krakatau.
Selain itu, berdasarkan pengamatan petugas dari pos pantau Kamis sore itu terlihat asap berwarna putih tebal setinggi 50-100 m di atas puncak Gunung Anak Krakatau. Sementara untuk gempa letusan tidak ada peningkatan yang signifikan.
Sumber: Tempo