SUKABUMIUPDATE.com - Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar mengatakan, ada dua ancaman dari Gunung Anak Krakatau belakangan ini, yaitu letusan dan efek sampingnya yang berupa longsoran material.
Seperti diketahui dari citra satelit Lapan, 64 hektare badan gunung lenyap yang dipastikan sebagai longsor lalu memicu tsunami pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. "Yang kita khawatirkan ada longsoran lagi," katanya Kamis, 27 Desember 2018.
PVMBG aktif memantau kondisi gunung di perairan Selat Sunda itu. Berdasarkan evaluasi, Badan Geologi menaikkan status Gunung Anak Krakatau dari waspada (level II) ke siaga (level III). "Pertimbangannya kontinuitas erupsi beberapa hari terakhir, dan adanya awan panas yang langsung meluncur ke laut, dan dikhawatirkan terjadi longsor lagi," kata Rudy.
Selain itu, ada wilayah terdampak dengan turunnya hujan abu sejak Rabu kemarin di sekitar Anyer dan Cilegon dengan ketebalan kurang dari 1 mm. "Itu juga sudah ancaman, maka dinaikkan statusnya," ujar Rudy.
Selain longsoran 22 Desember, dan dikhawatirkan berulang, faktor lain pemicu tsunami yaitu awan panas atau magma yang keluar dari kawah lalu meluncur langsung ke laut. Namun kondisi ini sulit diperhitungkan kejadiannya hingga menimbulkan tsunami. Bahkan berapa taksiran volume material yang longsor lalu masih nihil, selain luasan area yang diperkirakan seluas 64 Ha.
Sampai sekarang, pemantau gunung belum bisa mendekat ke gunung untuk melihat langsung perubahan kondisi fisik terutama bagian yang telah longsor. Pengamatan hanya bisa dilakukan dari jauh di darat di Banten dan Lampung. Alasannya, kata Rudy, terkendala oleh cuaca dan alat transportasi. Badan Geologi dan PVMBG sementara ini mengandalkan citra satelit Lapan untuk melihat secara terbatas kondisi fisik Gunung Anak Krakatau.
Dari hasil interpretasi citra satelit terungkap, kaldera kawah sudah berubah bentuk terhitung dari 19 Desember, dibandingkan dengan kondisi 23 Desember. "Ada perubahan lubang kawah yang melebar, itu bukan karena ambrol, tapi materialnyan ikut terlontar letusan," kata Rudy. Adapun ketinggian gunung diduga tidak berubah secara signifikan.
Rudy mengatakan, pola letusan Anak Krakatau ini sulit dicari perbandingannya ke gunung leluhurnya, Krakatau yang meletus dahsyat pada 1883. Alasannya, catatan aktivitas Krakatau dulu datanya tidak tercatat dengan bagus seperti Anak Krakatau.
Kini BMKG ikut mengambil peran memantau secara tidak langsung dengan mengaktifkan enam sensor seismometer yang sudah terpasang. Alat itu dimodifikasi agar bisa mendeteksi adanya getaran longsor di Gunung Anak Krakatau minimal setara dengan magnitude 3,4. Angka itu berdasarkan catatan longsoran sebelumnya yang menciptakan tsunami 22 Desember.
"Kami turunkan frekuensinya agar getaran kecil bisa terekam," kata Rahmat Triyono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Kamis, 27 Desember 2018.
Menurutnya, terkait dengan peningkatan status Gunung Anak Krakatau dari waspada ke siaga, fokus BMKG memantau getaran longsor yang berpotensi tsunami. Sesuai prosedur, BMKG segera mengumumkan bahaya itu ke masyarakat. "Kemarin status waspada ternyata erupsi, akhirnya longsor dan menimbulkan tsunami.
Sekarang kami beritahu supaya masyarakat waspada ada potensi longsoran lagi," kata Rahmat.
Sumber: Tempo