SUKABUMIUPDATE.com - Tsunami Selat Sunda telah terjadi setidaknya lebih dari 11 kali dalam dua abad terakhir. Terbaru, terjadi pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. Namun, ada tiga tsunami yang penyebabnya masih misterius. Yakni, pada 1851, 1883, dan 1889.
"Tidak diketahui karena parameter gempa tidak ada. Diasumsikan akibat aktivitas longsor di bawah laut," kata Kepala Subbidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat PVMBG, Akhmad Solikhin, saat ditemui di kantornya, Ahad, 23 Desember 2018.
Kendati diduga disebabkan oleh longsor di bawah laut, tapi mencari pembuktiannya terhitung sulit. "Karena kita harus mengetahui batimetri (peta topografi dasar laut) sebelum kejadian, dibandingkan dengan batimetri setelah kejadian. Dan itu memerlukan biaya sangat besar untuk survei," kata dia.
Pertama, 4 Mei 1851. Kejadian tsunami di Teluk Betung, di dalam Teluk Lampung. Tsunami ini teramati gelombang naik 1,5 meter dari pantai biasanya dengan penyebab yang belum diketahui.
Peristiwa kedua terjadi tanggal 10 Oktober 1883. "Terjadi dua bulan setelah kejadian letusan hebat Krakatau (27 Agustus 1883). Tsunami terjdi di Cikawung, di Pantai Teluk Selamat Datang. Teramati gelombang laut membanjiri pantai sejauh 75 meter, jarak jangkauan luncurannya," kata Akhmad.
Sedangkan peristiwa ketiga terjadi pada bulan Agustus 1889. "Itu terjadi di Pantai Anyer. Tidak ada catatan ketinggiannya berapa. Hanya disebutkan terjadi kenaikan air laut yang tidak wajar," kata dia.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG, Agus Budianto, memastikan gempa bumi bukan menjadi pemicu tsunami Selat Sunda, Sabtu, 22 Desember 2018. Hipotesa aktivitas gunung api, kata dia, masih menunggu hasil penelitian tim gunung api PVMBG.
"Apakah terjadi tumpahan material besar akibat letusan ke laut secara tiba-tiba, seperti letusan 1883, sehingga terjadi tsunami? Ini yang kami belum tahu," ujarnya. Agus mengatakan, dugan tsunami akibat longsor bawah laut juga harus dipastikan apakah peristiwa tersebut berdiri sendiri atau terkait dengan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.
"Faktanya ada tsunami, tanpa gempa bumi dan ada letusan gunung api. "Penyebabnya Ini yang sedang kami cari," kata dia. "Longsor bawah laut itu ada beberapa pemicu, seperti gempa bumi, gunung api, gerakan tanah atau longsoran bawah laut. Longsoran itu bisa terjadi akibat gempa bumi, atau letusan gunung api, atau yang lain. Itu yang harus dicek."
Agus mengatakan, tsunami yang dilaporkan terjadi di Selat Sunda, Sabtu, 22 Desember 2018, diduga berhubungan material dalam volume besar. "Tsunami sebesar itu harus ada sentakan tiba-tiba," kata dia.
Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG, Wawan Irawan, telah mengirimkan tim untuk memastikan keterkaitan tsunami yang terjadi di Selat Sunda, Sabtu, 22 Desember 2018, dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau. "Hari ini akan berangkat ke sana untuk melakukan pemeriksaan," kata dia di saat konfrensi pers di kantornya di Bandung, Ahad, 23 Desember 2018.
Wawan mengatakan, salah satu letusan yang terjadi Sabtu, 22 Desember 2018, pukul 21.03 WIB, merusak peralatan yang dipasang PVMBG di Pulau Gunung Anak Krakatau. Selepas letusan bertipe strombolian (letusan kecil) tersebut, dilaporkan terjadi gelombang pasang yang belakangan dipastikan oleh BMKG sebagai tsunami.
Sumber: Tempo