SUKABUMIUPDATE.com - Perangkat lunak atau software berbasis open source saat ini masih menjadi alternatif menarik untuk menghadapi penetrasi software komersial berlisensi yang kian memonopoli pasar.
"Padahal monopoli software komersial berlisensi ini adalah kegiatan yang kontra produktif, terutama dalam model pasar yang bebas," ujar pakar teknologi informasi yang juga CEO PT. Equnix Business Solutions, Julyanto Sutandang, di sela kampanye penggunaan software open source di sejumlah kampus di Yogya Sabtu 24 November 2018.
Julyanto menuturkan monopoli software komersial berlisensi selama ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Imbasnya, efisiensi menjadi rendah dan hampir tidak ada ruang negosiasi untuk mengefisienkan biaya dan meningkatkan layanan.
Karena itu, untuk melawan monopoli tersebut, makin banyak bermunculan komunitas gerakan open source yang mengusung semangat berbagi, demi menolak cara lisensi berbayar software yang cenderung memberatkan penggunanya.
"Pertumbuhan software open source telah memberi udara segar dengan memungkinkan penggunaan software legal tanpa biaya lisensi," ujar Julyanto yang dalam lawatan ke Yogya menggelar kampanye software open source itu di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga itu.
Menurut dia, keuntungan menggunakan software berbasis open source adalah kemandirian. Tidak ada ketergantungan, paksaan, maupun kepasrahan karena tidak memiliki pilihan. Dengan kata lain, ujar Julyanto, sofware berbasis open source telah memberikan kebebasan, pilihan, kejujuran, kemerdekaan, tanpa ada ketergantungan terhadap vendor. Terlebih, saat ini sofware open source mulai banyak menjadi solusi alternatif di banyak inftastruktur teknologi informasi dan memberikan keuntungan lebih baik.
"Software open source menjadi jawaban dari ketimpangan sistem lisensi software yang cenderung kurang adil dan bersifat kapitalistik," ujar konsultan software open source PostgreSQL dan Linux itu.
Julyanto menambahkan masa depan software open source pun juga sangat prospektif di era revolusi industri 4.0 saat ini. Mengingat revolusi industri dunia dari versi pertama hingga sekarang juga dimotori seorang technopreneur yang selama ini bekerja menciptakan berbagai aplikasi otomatisasi lewat software software open source. Dengan kata lain, terjadinya revolusi industri hanya bisa terjadi dengan bantuan perangkat lunak berbasis open source.
"Misalnya, saat ini semua startup hanya mau menggunakan soft open source karena murah, jadi pembuat tak rugi ketika membuatnya," ujarnya.
Julyanto menuturkan, saat ini pun sejumlah perusahaan besar seperti manufaktur dan perbankan berangsur beralih ke software open source demi efisiensi produksinya. Penghematan dari peralihan dari software komersial berlisensi ke open source ini diklaim bisa menghemat ratusan juta hingga miliaran rupiah. Terutama untuk fungsi vital seperti penataan manajemen database perusahaan.
Seringkali pula, software lisensi berbayar membuat pengguna repot ketika muncul masalah dimana masalah itu hanya bisa di atasi perusahaan pemegang lisensi. Sebab yang mengetahui letak masalah dari software itu hanya pemilik lisensi. Ini membuat biaya pemeliharaan software berlisensi itu besar.
"Berbeda dengan open source yang arsitektur softwarenya transparan dan bisa diketahui pengguna, jika ada masalah bisa ditangani sendiri, atau pihak yang sudah dilatih," ujarnya. Kampanye penggunaan software open source ini telah dilakukan ke lima kota seperti Malang, Kediri, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Serta menjangkau 25 kampus.
Julyanto menuturkan tujuan akhir kampanyenya tentang penggunaan open source untuk mendorong makin banyak munculnya technopreneur terlatih yang mampu bersaing di masa datang. Mengingat makin besarnya kebutuhan kerja di bidang teknologi informasi dan makin tumbuh suburnya perusahaan rintisan atau startup teknologi serta e- commerce.
Sumber: Tempo