SUKABUMIUPDATE.com - Tak jarang sebuah berita atau video menjadi viral. Yang membuatnya populer tentu saja pembaca. Namun bagaimana para pembaca memutuskan membaca lalu menyebarkannya? Jawabannya ada dalam artikel berjudul "A Neural Model of Valuation and Information Virality" yang terbit dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Menurut studi tersebut, seseorang membagikan artikel dengan tujuan membuatnya terlihat baik atau bisa meningkatkan ikatan sosial dengan kelompoknya. Tim peneliti dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, menemukan fakta tersebut dari hasil pengamatan terhadap aktivitas otak 80 mahasiswa—yang diminta membaca judul dan abstrak 80 artikel kesehatan di New York Times.
"Semua artikel itu telah dibagi sebanyak 120 ribu kali lewat berbagai media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan surat elektronik oleh pembaca nyata," demikian menurut para peneliti dalam jurnal itu.
Tim peneliti berfokus pada tiga daerah otak. Pertama, bagian otak yang membantu menentukan nilai keseluruhan dari sepotong informasi. Kedua, bagian yang menentukan sesuatu yang relevan dengan kehidupan seseorang. Ketiga, bagian otak yang digunakan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain.
Emily Falk, anggota penelitian, mengatakan hasil studi menunjukkan bahwa orang tertarik untuk membaca atau berbagi konten karena terkait dengan pengalamannya sendiri. Falk adalah Direktur Communications Neuroscience Laboratory University of Pennsylvania. Studi yang dilakukan di laboratoriumnya lebih banyak berfokus pada perubahan perilaku kesehatan.
Menurut Falk, temuan ini dapat membantu peneliti mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang psikologi berbagi. "Informasi tersebut bisa digunakan untuk mengurangi penyebaran berita bohong," ujarnya, seperti dikutip dari Live Science.
Studi sebelumnya melihat psikologi berbagi berdasarkan survei tentang alasan orang berbagi sebuah artikel. Namun survei tersebut memiliki keterbatasan. Mereka, misalnya, tidak menyadari proses mentalnya secara langsung. Atau para responden mungkin menghindar untuk mengakui bahwa mereka berbagi artikel agar terlihat pintar. "Neurosains bisa menutup lubang tersebut," ucap pemimpin studi yang juga pakar neurosains, Christin Scholz.
Metode ini, kata dia, membantu para peneliti mengukur proses berpikir secara langsung tanpa harus meminta responden melaporkan apa yang mereka pikirkan. Scholz mengatakan, dibandingkan dengan sinyal tradisional, metode gabungan ini lebih baik menjelaskan kenapa seseorang membagikan suatu artikel. "Keuntungan menggunakan data saraf adalah mengungkap aktivitas otak yang menerangkan elemen sosial," tuturnya.
Meski metode gabungan mengungkapkan hasil yang cukup akurat, menurut Scholz, cara ini tidak cocok untuk memindai satu artikel tunggal yang dibagikan. Sebaliknya, dia menjelaskan, metode tersebut lebih cocok untuk mengungkapkan mekanisme otak yang tersembunyi.
Sumber: Tempo