SUKABUMIUPDATE.com - Balaroa dan Petobo, Kota Palu, menjadi dua daerah yang terdampak likuifaksi paling parah. Dua kelurahan ini hampir rata dengan tanah karena fenomena geologi yang ditimbulkan gempa bermagnitudo 7,4 pada, Jumat, 28 September 2018.
Fenomena likuifaksi di Palu sebetulnya sudah diprediksi sebelumnya. Dan prediksi tersebut sudah dibuat sejak 2012. "Di dalamnya ada keterangan sangat tinggi, tinggi, dan rendah. Itu probabilitas kejadiannya. Kalau tinggi, dia berpotensi sekali terjadi likuifaksi," kata peneliti Geologi Teknik dari Pusat Air Tanah Dan Geologi Lingkungan Badan Geologi, Taufik Wira Buana, saat dihubungi Tempo, Rabu, 3 Oktober 2018.
Riset tahun 2012 itu menghasilkan Peta Zona Bahaya Likuifaksi untuk daerah Palu dan sekitarnya. Peta tersebut sudah diserahkan pada pemda setempat. Taufiq mengatakan, Balaroa dan Petobo di Palu termasuk dalam daerah yang berpotensi terjadi likuifaksi. “Balaroa potensi tinggi. Sedangkan Petobo sangat tinggi di peta tersebut,” kata dia.
Likuifaksi secara sederhana adalah proses hilangnya kekuatan tanah, daya dukung tanah, karena proses pencairan atau pembuburan akbait efek guncangan gempa bumi. Efek likuifaksi ada yang bersifat lokal dan ada yang menjangkau dalam area yang luas.
Selain faktor potensi, Menurut Taufiq, Balaora dan Petobo berada di daerah yang relatif miring. Kondisi ini diduga memicu gerakan tanah bersamaan dengan terjadinya efek likuifaksi.
Material tanah di dua lokasi tersebut pun relatif sama. Di dalam tanah memiliki lapisan batuan kedap air yakni jenis batuan lempung, sementara di bagian atasnya batuan kerikil dan tidak lengket. “Seperti pasir. Sifatnya lolos air. Daerah tersebut juga kaya dengan air dangkal,” kata dia.
Taufiq mengatakan, dengan batuan lolos air, dan kaya dengan air tanah menjadi bumerang bagi dua daerah tersebut saat gempa mengguncang Palu. Saat gempa teradi, guncangannya menekan air di dalam tanah. "Istilah kita tekanan air pori menjadi berlebih. Air tersebut mendorong partikel yang tidak lengket seperti pasir, mematahkan ikatan antar partikel butirannya," kata dia.
Likuifaksi tersebut membuat tanah menjadi bubur karena kehilangan ikatan antar partikel butirannya. Sementara di bagian bawahnya kedap air, serat geografinya yang relatif miring memicu gerakan tanah.
"Daerah ini punya kemiringan lereng dan di bawahnya kedap. Itu yang menyebabkan gerakan tanah. Tanah di bagian atasnya meluncur seperti skateboard, kekuatan pasirnya hilang. Gelombang gempa menghasilkan retakan kecil dan menjadi bidang lemah. Tanah yang meluncur itu sebagian memutar posisi tanahnya. Makanya kalau orang melihat rumah seperti ditelah, itu salah satu fenomena gerakan tanah,” kata Taufiq.
Daerah denga potensi likuifaksi itu bukan berarti tidak bisa didirikan bangunan. "Kalau yang sifatnya Cuma lokal, efeknya hanya di spot-spot, itu sangat bisa dibangun. Tinggal merancang bangunan yang bisa menahan likuifaksi," kata dia.
Potensi likuifaksi tersebut mensyaratkan struktur bangunan memerlukan perlakukan khusus. Tapi untuk daerah seperti Balaroa dan Poetobo, Taufiq menyarankan agar tidak lagi dihuni. "Sementara jangan di situ kalau masih ada pilihan lain ke depannya," kata dia.
Kika memang terpaksa dibangun hunia, menurut Taufik, membutuhkan rekayasa sipil tertentu agar tidak terulang kembali kerusakan akibat efek likuifaksi tersebut. Daerah yang sudah terbukti terjadi likuifksi riskan untuk dihuni lagi.
"Potensi likuifaksi ke depan masih bisa terjadi. Bukan artinya likuifakasi yang terjadi hari ini selesai. Tidak. Tetap masih berpotensi terjadi ke depan," kata dia.
Sumber: Tempo